Kamis, 04 Juni 2009

Psikologi Pendidikan

PSIKOLOGI SEBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF HINDU
Oleh : Rasta
====================================
A. Pendahuluan
A.1 Latar Belakang
Pendidikan sebagaimana dirumuskan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, mempunyai tujuan :
“Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. (UU RI No. 20.2003 : 11).

Sudahkah tujuan ini tercapai ? Beberapa phenomena menunjukkan bahwa belakangan ini anak-anak kita, secara pukul rata tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan lebih sulit diatur, demikian disebutkan oleh Daniel Goleman dalam buku Working with Emotional Inteligence. (Daniel Goleman, 2001:17). Kasus yang ada di sekitar kita juga menunjukkan bukti bahwa pernyataan Goleman memang mendasar. Salah satu kasus ,”Seorang pelajar nekat bunuh diri”, sementara orang tuanya adalah Sarjana Pendidikan (S.Pd.) membuktikan bahwa pendekatan pendidikan sudah seharusnya menyentuh paradigma perubahan kejiwaan anak. (Bali Post, 14 September 2007: ).
Jadi seorang pendidik sangat penting untuk mengetahui ilmu kejiwaan. Ilmu kejiwaan jika dikaitkan dengan pendidikan, maka disebut psikologi pendidikan.
Dalam psikologi pendidikan yang menjadi sorotan utama adalah kepribadian atau personality. Berkaitan dengan personality, Prof. Dr. H. Djaali, menyebutkan bahwa : “Secara filosofis pribadi adalah aku yang sejati, dan kepribadian merupakan penampakan sang aku dalam bentuk prilaku tertentu”. (Djali, 2007 :2). Siapakah aku yang sejati itu ? Ia merupakan hakekat dari jiwa-jiwa individualis yang dilingkupi jiwa universal yang holistik. Veda menyebut konsepsi ini sebagai atman-brahman.
Beberapa abad sebelum masehi para filsof mencoba mempelajari jiwa. Ada yang berpendapat bahwa jiwa adalah ide (Plato), jiwa adalah karakter (Hipocrates), jiwa adalah fungsi mengingat (Aristoteles). (Sarwono, 1992 : 16). Sementara jutaan abad sebelumnya Veda telah merumuskan jiwa sebagai kesadaran yang agung. Keberadaan jiwa ada dalam badan dan badan dilingkupi oleh kesadaran jiwa. Atas dasar inilah maka manusia di sebut manawa. Manawa terdiri dari tiga suku kata, Ma+Na+Wa. Ma merupakan akar katan madawa yang artinya cahaya, sinar, terang, deva, yang merupakan unsur purusa, (spiritual), Na merupakan akar kata nara yang berarti manusia, jaatma, sedangkan Wa merupakan akar kata danawa yang berarti gelap, bhuta, yang merupakan unsur prakrti, (material). Jadi sesungguhnya nara (manusia) ada di antara unsur spiritual dan material. Dengan demikian untuk membuat manusia memahami kejiwaannya sehingga siap sebagai agen pembelajar, maka ia harus memahami dirinya sendiri sebagai kesatuan antara spiritual dan material. Bagaimana hal ini dapat di pahami ? Ilmu kejiwaan (psikologi) merupakan jawabannya. Karena yang terpenting dalam perkembangan kejiwaan adalah pendidikan, maka psikologi pendidikan merupakan landasan yang utama yang wajib dipahami pendidik.

A.2 Rumusan Permasalahan
Bertolak dari latar belakang di atas permasalahannya yang akan dikaji dalam makalah singkat ini adalah,
Bagaimana psikologi sebagai landasan pendidikan dalam perspektif Hindu ?
Apa saja jenis-jenis psikologi sebagai landasan pendidikan dalam perspeftif Hindu ?


B. Pembahasan

B.1 Psikologi Sebagai Landasan Pendidikan dalam Perspektif Hindu
Psikologi sering disebut ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia. Jadi “Jiwa”, merupakan hal yang terpenting dan mendasar dalam psikologi. Akan tetapi pemahaman akan jiwa dalam ilmu psikologi modern hanyalah sebatas pada perkembangan psikis. Hal ini nampak sebagaimana diungkapkan Pofesor Dr. Made Pidarta, dalam buku “Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia”.
“Jiwa itu adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani, yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia, yang berada dan melekat dalam manusia itu sendiri. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Jiwa balita baru berkembang sedikit sekali sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan sederhana sekali. Makin besar anak makin berkembang pula jiwanya, dengan melalui tahap-tahap tertentu akhirnya anak itu mencapai kedewasan baik dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani”.
(Pidarta Made, Prof.Dr. 1997: 185).

Menurut pandangan Veda hakekat jiwa adalah kebenaran mutlak. Ia ada pada masa kecil, remaja, dewasa dan tua. (Maswinara. 1997:121). Jiwa tidaklah berubah sebagaimana dituliskan dalam buku-buku psikologi, tetapi jiwa kekal adanya. Jiwa tidak dipengaruhi oleh alam semesta, akan tetapi alam semestalah yang digerakkan oleh kesadaran jiwa. Jiwa adalah purusa, alam semesta adalah prakrti. Purusa yang memasuki prakrti, memberikan kesadaran, menggerakkan dan menyebabkan prakrti tumbuh berkembang. Inilah yang disebut psikis, yaitu prakrti yang tumbuh karena kesadaran jiwa.
Purusa sesungguhnya kesadaran kosmik yang berada di dalam dan di luar prakrti. Sebagaimana air yang bisa merasuk dalam materi lain dan materi lain bisa larut dalam air, demikianlah keberadaan purusa sebagai kesadaran mutlak seluruh alam. Swetaswatara upanisad mengungkapkan tentang pencarian jiwa sebagaimana menemukan garam dalam air. Jika beberapa butir garam ditempatkan dalam setetes air ada dua kemungkinan, air melarut dalam garam atau garam melarut dalam air, tergantung yang mana lebih banyak. Jika air melarut dalam garam atau garam melarut dalam air, dapatkah kita menyatakan kalau air telah berubah menjadi asin ? AIR tetaplah pada sifatnya sebagai pelarut universal, GARAMlah yang asin. Jadi saat garam melarut dalam air atau air melarut dalam garam, kita tidak dapat mengatakan kalau sifat air telah berubah. Identik dengan itu, demikianlah keberadan jiwa dalam badan dan badan dalam kesadaran jiwa.
Dalam kajian pada individualitas manusia, maka kita dapat merenungi bahwa jiwa bukanlah psikis dan psikis bukanlah jiwa. Untuk bisa memahami ini, saya kembali kepada uraian pengantar di muka tentang hakekat manusia dalam peradaban vedik yang disebut manawa, yaitu suatu pandangan hakiki tentang manusia sebagai makhluk utama yang terbentuk dari kontribusi terang-gelap (Madava-dan Danawa).
Jiwa manusia adalah unsur deva (madava), dan tubuh manusia adalah unsur bhuta (danawa). Unsur deva dan bhuta berpadu membentuk kesadaran (psikis). Ada empat tingkatan kesadaran dalam veda, jagra, turu, susupti, dan turya.
Jagra adalah kesadaran badan saat kita menyadari bahwa phisik ini bergerak, Turu adalah kesadaran saat kita tidur dengan mimpi, Susupti adalah kesadaran tidur tanpa mimpi, dan Turya adalah kesadaran akan keberadaan Sang Diri yang menyatu dengan kesadaran kosmik.
Jadi, pandangan spiritualitas Veda, menekankan bahwa hakekat jiwa tidaklah sebagaimana yang dituliskan dalam buku-buku psikologi model Barat. Jiwa berkembang dan dipengaruhi alam sekitar, ini adalah pemahaman phsikis, bukan jiwa. Jiwa tidaklah sama dengan phsikis. Akan tetapi konsepsi psikologi Barat menempatkan jiwa sama dengan phsikis, dan phsikis identik dengan pikiran, pikiran dianggapnya otak, sehingga teori-teori pembelajaran berkembang menyasar perkembangan otak. Sementara veda menyebut otak sebagai alat jiwa, yang tiada lain adalah badan halus, jnana maya kosa. Di bawahnya ada ana dan prana maya kosa, dan di atasnya ada wijana dan ananda maya kosa. Kelima badan ini dalam istilah veda disebut panca maya kosa, yang merupakan lapisan-lapisan badan yang terbentuk dari unsur bhuta (Danawa). Dan dalam setiap kosa dilingkupi oleh kesadaran jiwa yang merupakan unsur Deva (Madava). atas dasar inilah maka manusia dalam konsep Vedanta disebut sebagai Manawa, yaitu unsur material (bhuta) yang dilingkupi kesadaran jiwa (Dewa).
Walaupun teori-teori psikologi belum dapat mengungkapkan landasan utama yang disebut “jiwa”, namun demikian, perkembangan teori-teori psikologi telah dan akan menuju pemahaman Vedik. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dan pengakuan bahwa yang memegang peranan penting dalam pembelajaran bukanlah IQ semata akan tetapi ada EQ dan SQ.
Dalam ilmu psikologi pendidikan, yang terpenting adalah pemahaman jiwa sebagai pondasi dalam pembelajaran. Disadari atau tidak proses akhir dari pembelajaran 99,9 % ditentukan oleh motivasi internal pembelajar. (Walaupun belum ada penelitian pasti untuk ini).
Paradigma pembelajaran saat ini telah bergeser dari guru pemberi ilmu menjadi guru pengolah ilmu. Pada paradigma guru pemberi ilmu, dianggap pembelajar sebagai gelas kosong yang siap diisi atau dipolakan sesuai kehendak guru, sementara dalam paradigma guru pengolah ilmu memandang bahwa pembelajar ibarat gelas yang telah berisi. Jadi pada paradigma yang kedua sejalan dengan teori konstruksitivisme.
Teori konstruktivisme menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan (kontruksi) orang itu sendiri. (Suparno, 2001). Artinya, pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru kepada siswa. Seseorang dapat dikatakan memiliki pengetahuan jika orang tersebut berusaha untuk aktif mencerna pengetahuan sendiri. Bagaimana seseorang dapat mencerna pengetahuan jika ia tidak memahami jiwanya ?, Bagaimana seseorang dapat memahami jiwanya jika ia tidak mengetahui hakekat keberadan jiwa dalam badannya? Jadi landasan utama psikologi pendidikan adalah pemahaman akan keberadaan jiwa-jiwa individualis pada setiap insan, pendidik maupun anak didik.
Manusia tak mungkin hidup tanpa jiwa, karena jiwa adalah kesadaran badan. akan tetapi orang tidak mungkin memahami jiwa tanpa memahami wadah jiwa, yaitu badan. Perbaduan jiwa-badan yang disebut psikis adalah landasan utama psikologi pendidikan. atas dasar ini ini, manusia sudah semestinya memahami jiwa, maka kehadiran “ilmu jiwa” menjadi sangat penting.
Demikianlah pentingnya psikologi pendidikan sebagai landasan dalam pelaksanaan pendidikan.

B.2 Jenis-Jenis Psikologi Sebagai Landasan Pendidikan dalam Perspeftif Hindu
Sebagai landasan pendidikan psikologi dalam perspektif Hindu dibedakan atas:
1) psikologi perkembangan, 2) psikologi belajar, 3) psikologi sosial.

B.2.1 Psikologi Perkembangan
Berdasarkan pendekatan tahapan ada beberapa teori perkembangan anak, antara lain :
Perkembanagan manusia secara umum, menurut Crijns,
v Umur 0-2 tahun, masa bayi, sebagian besar waktu untuk tidur
v Umur 2 - 4 tahun, masa kanak-kanak, mulai belajar berjalan, berkata, dan permainan-permaianan bersifat fanatasi.
v Umur 5 - 8 tahun, disebut masa dongeng, anak menukai cerita-cerita/ dongeng
v Umur 9 -13 tahun disebut masa Robinson Crusoe, mulai berkembang pemikiran kritis, nafsu persaingan, minat-minat dan bakat.
v Umur 13 tahun, mulai belajar merias diri
v Umur 14 -18 tahun. masa puber/peralihan
v Umur 19 -21 tahun disebut masa adolesen. Suatu masa mencari jati diri atau keseimbangan.
v Umur 21 tahun ke atas disebut masa dewasa.

Berbeda dengan teori perkembangan Barat yang menekankan aspek pisik, psikologi perkembangan dalam perspefktif Hindu lebih menekankan pada aspek perkembangan watak dan pengaruh lingkungan. Atas dasar ini pada setiap tahap perkembangan mental anak mulai dari dalam kandungan selalu diikuti ritual yang bertujuan menyeimbangkan dan mengarahkan anak kepada karakter baik. Beberapa tahap perkembangan anak menurut Veda adalah :
v Tahap angarbini, usia kehamilan 3 bulan, pada tahapan ini seorang anak sudah mulai menunjukkan keinginan melalui ibunya, yang dikenal sebagai kondisi ngidam. Setiap ibu yang hamil, mempunyai permintaan atau kesukaan yang berbeda-beda. Terpenuhi atau tidak keinginan pada saat angarbini ini akan mempengaruhi karakter anak yang akan dilahirkan. Contoh : seorang ibu yang menginginkan rujak pedas, minuman jahe, dan lain-lain makanan-minuman atau zat aromatic lainnya, maka karakter anak yang dikandungnya adalah keras (rajasik).
v Tahap jatakarma atau magedong-gedongan, disebut juga tutug sasihan , antara umur kandungan 9-10 bulan. Pada saat ini dilakukan upacara penbersihan atau penglukatan dengan tujuan agar karakter anak yang lahir baik.
v Tahap kepus udel, usia bayi 7-11 hari
v Tahap nama karma, usia bayi 12 hari. Pada saat ini bayi mulai diberi nama panggilan. Tahapan ini sangat menentukan karakter anak selanjutnya, oleh karena nama adalah suara yang akan terus menjadi identitasnya. Dan setiap nada yang terdengar dari nama panggilan akan mengetarkan atau memberi vibrasi kesadarn psikis anak. Dalam konsepsi Veda, suara adalah nada Brahman. Setiap huruf yang dilekankan pada bentuk dan rupa akan mempengaruhi karakter.
v Tahap tutuh akambuh, usia anak 42 hari.
v Tahap tigang sasih atau telubulanan, usia anak 105 hari. Pada tahapan ini disebut pula tahap riskrama samskara, yaitu tahapan saat anak mulai diperkenalkan dengan kemewahan duniawi (harta benda seperti emas, intan, dll)
v Tahap aweton, umur 210 hari atau 6 bulan, pada saat ini anak mulai boleh menginkaj tanah, atau berhubungan langsung denga bumi.
v Tahap aguron-guron, pada saat anak sudah tanggal gigi untuk pertama kali, maka si anak sudah mulai memasuki suatu tahapan kehidupan yang disebut brahmacarii (masa menuntut ilmu). Pada tahapan ini anak sudah mulai berpikir kritis, dapat membedakan baik-buruk, dan sudah mampu memilih.
v Tahapan berikutnya adalah tahapan dimulainya catur asrama, yaitu empat tahapan hidup, meliputi masa menuntut ilmu (brahmacari), tahap berumah tangga (grhasta), tahap melatih ketidak terikatan (sanyasin), dan tahap bhiksuka. (Sumber: Kanda Pat Rare)

B.2.2 Psikologi Belajar
Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomonikasikannya kepada orang lain. (Prof. Dr. Made Pidarta. 1997:197).
Untuk memahami kompleksitas proses belajar, berbagai gagasan pemikiran telah diformulasikan dalam suatu teori yang dikenal dengan teori belajar.

Teori-teori belajar Barat
Secara garis besar teori belajar dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
(a) Teori behaviorisme, teori ini menekankan pada perubahan tingkah laku yang didasarkan pada stimulus-respon.
(b) Teori Kognitifisme, teori ini menekankan pemahaman konsep (concept attainment) hingga pada suatu simpulan (discovery learning).
(c) Teori belajar sosial, teori ini menekankan bahwa pembelajaran tidak hanya dapat dilakukan secara mandiri (individual) akan tetapi ada control sosial. Teori ini menekankan interaksi antar manusia.
Penekanan pembelajaran selama ini adalah pada lapisan badan yang disebut pikiran. Beberapa teori pikiran atau otak yang dianggap sebagai agen pembelajaran dapat diuraiakan dari teori otak dua sisi, otak triune, sampai otak holistik.
Teori-teori belajar behaviorisme berlandasakan pada teori otak dua sisi, sehingga sistem ini oleh Bab Samples disebut sebagai pendekatan sistem tertutup. Bagi para pemikir sistem tertutup control merupakan perhatian utama. Pada sistem ini proses pembelajaran diberlakukan seperti paku-palu. Tiga teori belajar yang dikemukan di atas adalah bagian dari sistem ini.
Sejalan dengan perkembangan teori otak, maka muncullah teori belajar holonomi. Teori ini menekankan sistem pembelajaran sebagai suatu sistem terbuka, model ini oleh Bob Samples disebut sebagai model holonomi. Otak-pikiran adalah sistem terbuka, dalam perspektim semacam itu dan dengan demikian, ia terbuka untuk menerima masukan dan pengalaman, baik dari luar maupun dari dalam. (Bab Samples. 2002:109).
Diantara organ tubuh, otak adalah organ yang mampu memerintah dan sekaligus memberi perintah pada dirinya sendiri. Untuk dapat memahami kerja otak sebagai agen pembelajaran kita dapat memperhatikan berbagai pandangan tentang otak manusia.
“Jika Anda ingin mengembangkan anak-anak, mulailah dari otaknya, mereka tentu saja tak membaca dengan ginjalnya”, demikian ungkap Deborah Waber ahli pembelajaran dari Universitas Harvard yang dikutip Gordon Dryden dalam buku The Learning Revolution. (Gordon. 2000). Pernyataan ini mengingatkan kita akan betapa pentingnya otak sebagai agen pembelajaran.
Banyak peneliti yang kini yakin bahwa kita dapat menyerap informasi jauh lebih cepat dan efektif ketika otak berada dalam keadaan “waspada yang relaks”. (Gordon Dryden. 2000). Keadaan waspada relaks adalah suatu kondisi nyaman, tenang dan tanpa beban. Veda menyebut kondisi relaks sebagai metode awal meditasi yang dapat dilatih melalui pengembangan ketenangan mental yang diperoleh dengan latihan silent sitting (duduk hening).
Sementara dalam perspektif Hindu khususnya filsafat Nyaya pembelajaran dianggap sebagai suatu proses pencarian hakekat diri yaitu Sang Jiwa melalui empat pendekatan yang disebut catur pramana. , yaitu sabda, upamana, anumana dan pratyaksa. (Musna.1986:4). Dari keempat cara ini upamana merupakan teori belajar yang sering diadopsi para pemikir-pemikir open mind, dengan menganalogikakan sesuatu yang terasa sulit dinalar dengan obyek-obyek duniawi. Dalam filsafat vedanta teori belajar disebut sebagai Teori Vedanta yaitu tentang persepsi bahwa pikiran keluar melalui mata dan indra lainnya dan mengambil wujud dari obyek yang ada di luar. Dalam teori ini, sinar pikiran dikatakan pergi keluar mengambil wujud dan bentuk serta meliputinya. setelah itu barulah terjadi persepsi. Persepsi terhadap sebuah benda hanya akan mungkin terjadi jika pikiran telah mengambil wujud benda tersebut secara utuh. Jadi dalam teori belajar ini bentukan atau konstruksi pengetahuan bukan ada pada benda luar akan tetapi ada dalam bentukan pikiran si pembelajar. (Sri Svami Sivananda. 2003:86). Sintaks pembelajaran dalam konsepsi vedata dikenal dengan istilah upanisad (duduk dekat guru) yang artinya sama dengan asessment (sit behind). Arti dari teori ini bahwa seorang pembelajar akan mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal jika dibimbing secara optimal oleh guru mereka.

B.2.3 Psikologi Sosial
Psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajarai pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu. (Hollander. dalam Pidarta Made.1997:208). Dalam psikologi sosial dipandang manusia bukan saja sebagai makhluk individual akan tetapi juga makhluk sosial yang harus beriteraksi dengan manusia lainnya. Dalam pola interaksi ini akan mengkasilkan suatu karakter bersama (kelompok) yang menjadi ciri khas dari kelompoknya. Atas dasar ini Vivekadanda pernah menyebutkan, “ sebutkan siapa temanmu, aku tahu siapa dirimu”, arti dari kata-kata Vivekananda adalah jika sesorang menyebutkan temannya paling tidak ia akan memeiliki kemiripan sifat/karakter dengan temannya, inilah psikologi sosial dalam perspektif Hindu. Demikian pula Ramanuja pernah menuliskan, sebut dari mana asalmu maka aku tahu bagaimana karaktermu.
Demikianlah psikologi sosial sangat berpengaruh pada karakter diri seseorang. Atas dasar ini maka seorang pendidik, mau tidak mau suka tidak suka seharusnya memahami psikologi sosial sebagai landasan psikologi pendidikan.

C. Simpulan
v Landasan utama psikologi pendidikan adalah aspek individual manusia yaitu “jiwa-jasmani”.
v Pemahaman akan aspek jiwa memunculkan ilmu kejiwaan yang disebut psikologi, dalam perspektif Hindu jiwa dinyatakan sebagai suatu keberadaan yang mutlak bagi kehidupan manusia. Pentingnya psikologi sebagai landasan pendidikan dalam perspektif Hindu disebabkan oleh suatu alasan bahwa manusia yang disebut manava merupakan gabungan unsur jiwa (deva) yang disebut madava dan unsur material yang disebut danava.
v Jenis-jenis psikologi pendidikan dalam perspektif Hindu meliputi :
psikologi perkembangan, psikologi belajar dan psikologi sosial..


D. Daftar Pustaka

Bob Samples. 2002. Revolusi Belajar untuk Anak. (Alih bahasa Rahmani Astuti). Bandung : Penerbit Kaifa.
Bobbi DePorter.2002. Quantum Teaching. (Alih Bahasa Ary Nilandari). Bandung : Penerbit Kaifa.
Bobbi DePorter. 2002. Quantum Learning. (Alih bahasaAlwiyah Abdurahman). Bandung : Penerbit Kaifa.
Brooks, J.G. & Brooks, M.G. 1993. In Search of Under Standing the Case for Contructivist Classrooms. Virginia : Association for supervision an curriculum development.
Dave Meier. 2000. The Accelerated Learning Handbook. New York : McGraw-Hill.
Daniel Goleman. 2001. Working with Enotional Intelence, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih bahsa Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta : PT. Gramedia.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor. 20. Tentang Sistem Pendidikan Nasional . : Jakarta.
Djaali Prof.Dr. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Donder. 2006. Sisya Sista : Pedoman Menjadi Siswa Mulia. Surabaya : Paramita.
Gordon Dryden & Jeannette Vos, Dr. 2000. Revolusi Cara Belajar. (Alih bahasa Word+Translation Service). Bandung : Peneribit Kaifa.
Maswinara I Wayan. 1997. Bhagawadgita. Surabaya:Paramita.
Pidarta Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Sarwono Sarlito Wirawan. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo.
Titib. 1994. Untaian Ratna Sari Upanisad. Denpasar : Yayasan Dharma Narada.

2 komentar: