Jumat, 05 Juni 2009

Pembelajaran

PEMBELAJARAN SAINS (KIMIA) BERWAWASAN SPIRITUAL
Makalah
Oleh : *Rasta
“Sains - Spiritual (S2) merupakan metode pencarian kebenaran yang seolah berbeda akan tetapi menuju kebenaran mutlak yang sama”

A. Pengantar
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU RI. No. 20 : 2003 :6).
Sebagai usaha sadar dan terencana maka seorang pendidik sudah seharusnya memahami landasan pendidikan. Salah satu landasan pendidikan adalah psikologi. Psikologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. (Sarwono, 1992: 16). Dengan pemahaman ilmu kejiwaan maka akan dilahirkan sistem pendidikan yang “berjiwa”. Artinya, setiap pendidik menyadari “benang merah” antar dan inter disiplin ilmu yang diajarkan, sehingga nantinya berkembang suatu model pembelajaran yang holistik. Suatu contoh model pembelajaran yang bersifat holistik adalah model pembelajaran sains (kimia) berwawasan spiritual. Hal ini dimaksudkan dalam upaya merealisasikan tujuan pendidikan nasional sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sisdiknas No, 20 tahun 2003, yaitu :
“Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. (UU RI No. 20.2003 : 11).

Sudahkah tujuan pendidikan nasional ini tercapai ? Beberapa fenomena menunjukkan bahwa belakangan ini anak-anak kita, secara pukul rata tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan lebih sulit diatur, demikian disebutkan oleh Daniel Goleman dalam buku Working with Emotional Inteligence. (Daniel Goleman, 2001:17). Kasus yang ada di sekitar kita juga menunjukkan bukti bahwa pernyataan Goleman memang mendasar. Salah satu kasus ,”Seorang pelajar nekat bunuh diri”, sementara orang tuanya adalah Sarjana Pendidikan, membuktikan bahwa pendekatan pendidikan sudah seharusnya menyentuh paradigma perubahan kejiwaan anak. (Bali Post, 14 September 2007 ).
Beberapa fenomena lainya yang sering teramati seakan sebagai kegiatan kotinuitas, seperti : tawuran antar pelajar, aksi corat-coret setelah lulus ujian, dan tidak takutnya siswa untuk ngerpek, nyontek demi nilai (hasil tes) merupakan indikasi terjadinya kemerosotan moral pendidikan di negara kita, “Apakah ini indikasi kegagalan sistem pendidikan kita?”. Jawaban atas pertanyaan ini adalah perenungan internal dari insani pendidikan, termasuk kita.
Disamping phenomena di atas, khusus dalam pembelajaran kimia beberapa isu yang “santer” terdengar bukan saja dari siswa akan tetapi juga dari guru-guru kimia, antara lain :
Pelajaran kimia adalah pelajaran sulit,
Pelajaran kimia membosankan,
Pelajaran kimia penuh rumus dan simbul-simbul yang kering tanpa makna,
Pelajaran kimia adalah salah satu pelajaran yang tidak diminati siswa karena berbagai alasan,
dan lain sebagainya.....
Berbagai isu negatif tentang pelajaran kimia seakan membuat “kita bangga” bahwa pelajaran kimia adalah pelajaran “berwibawa”. Sebagai guru kimia, hendaknya kita megeleminir isu negatif tersebut menjadi isu positip bahwa pelajaran kimia mudah, menyenangkan dan penuh makna spiritualitas.
Bertolak dari uraian inilah diperlukan suatu upaya baru dalam pembelajaran sains (kimia), salah satunya adalah pengembangan pembelajaran sains (Kimia) berwawasan spiritual.

B. Hubungan Sains dan Spiritualitas (S2)
Hubungan sains-spiritual didasarkan pada persepsi mendasar dari perkataan Enstein sebagai bapak sains yang mengatakan ,”Sains tanpa agama buta, agama tanpa sains lumpuh” (T.D. Singh, Ph.D. 2004). Artinya ; jika para ilmuwan (saintis) tanpa memahami agama maka hasil ilmunya akan dapat menghancurkan diri dan lingkungannya, demikian pula jika rohaniawan (agamais) tanpa pemahaman sains akan menjadikannya egois dan ortodok. Intinya, bukan pada pendekatan bagaimana agama dan sains memulai sebuah pencarian/kajian, akan tetapi terletak pada hasil akhir bagaimana kebenaran memunculkan diri menjadi sebuah fakta sains maupun agama. Akhir dari proses pencarian sains adalah kebenaran duniawi dan akhir dari proses pencarian agama adalah kebenaran rohani. Menurut Jagadis Candra Bose seorang penemu crescograph yaitu alat deteksi jaringan saraf tumbuhan (berupa alat tanpa kabel, wireless pertama mendahului penemuan Marconi), mengemukakan bahwa seorang pertapa adalah seorang penyair yang mengenal kebenaran. Sementara seorang ilmuwan, seorang saintis mencari kebenaran. (JC Bose.1946:Anand Krisna :2002).
Benang kusut pandangan sains-spiritualitas dalam perkembangan dewasa ini telah menuju pada suatu pendekatan sinergi di antara keduanya. Toudam Damodara Singh Ph.D, seorang saintis dan juga rohaniawan menyatakan dalam bukunya berjudul The Scientific Basic of Krishna Consciousneess, menyebutkan bahwa ,”Hendaknya sains dijadikan sarana untuk menjelaskan keberadaan Tuhan (Krisna) dan bukannya menjadi semakin jauh dengan prinsip kesadaran mutlak”. (T.D. Singh. 2006). Kenyataannya, dalam beberapa bidang pengetahuan, ilmu pengetahuan modern telah menemukan fakta-fakta yang sebelumnya sudah ada dalam literatur Veda ribuan tahun yang lalu. (Maswinara. 1998). Itulah sebabnya Svami Vivekananda menyatakan bahwa, “Penemuan dan penciptaan ilmu pengetahuan modern menyuarakan gema yang kecil dari keagungan raungan singa Vedanta. Demikian pula Dr. Kenneth Walker yang menyanjung kebijaksanaan Veda dan menyatakan :
“Vedanta merupakan suatu usaha untuk meringkas seluruh pengetahuan manusia dan membuat manfaat seluruh pengalaman manusia. Pada satu saat ia adalah agama, saat lainnya filsafat dan saat lainnya lagi ilmu pengetahuan”
(Kenneth Walker dalam Maswinara. 1998)

Dengan demikian, Vedanta memberikan bukti konkret bahwa spiritual dan ilmu pengetahuan terlepas dari pertentangannya merupakan tambahan dan sumbangan timbal balik dalam pencapaian tujuan bersama meningkatkan kehidupan manusia. Sebagai alat untuk mencari kebenaran sains dan agama semestinya menuju kebenaran yang sama dengan metodologi dan keterbatasan masing-masing. (Suja. 2006).
Dewasa ini ilmu pengetahuan mengakui bahwa pengetahuannya dibatasi oleh batas persepsi indra dan pengalaman, sedangkan spiritual, setelah mengambil pengetahuan materi yang tepat memperluas pandangannya jauh kedepan. Namun, kedua bidang pengetahuan ini saling berhubungan sehingga sama-sama penting bagi kesejahteraan umat manusia. Bila ilmu pengetahuan berhubungan dengan ‘peralatan’ hidup, spiritual berhubungan dengan penyangga peralatan. Bila yang pertama membantu untuk memecahkan teka-teki materi yang belakangan membantu untuk memecahkan misteri kehidupan, penciptaan dan Si Pencipta.(Maswinara. 1998). Pada akhirnya, sains tidak lagi diawali dengan “ragu” akan tetapi memulai dengan suatu keyakinan. Profesor Townes menyampaikan peranan keyakinan dalam sains dan agama sebagaimana dikutip T.D. Singh dalam buku berjudul Seven Nobellaureates on Science and Spirituality, mengemukakan sebagai berikut :
“Sains sendiri memerlukan keyakinan. Kita tidak mengetahui apakah logika kita benar. Saya tidak mengetahui Anda disana. Anda tidak mengetahui saya disini. Lihatlah, kita mungkin hanya bisa membayangkan semua ini. Saya mempunyai sebuah keyakinan tentang seperti apa dunia ini, dan demikian juga saya percaya Anda juga sama. Saya tidak dapat membuktikannya dari sudut pandang fundamental manapun....Namun saya harus menerima ruang lingkup tertentu dimana saya harus bekerja. Pemikiran bahwa agama adalah keyakinan; sains adalah pengetahuan saya kira sangat keliru. Pemikiran ini melupakan dasar sejati dari sains, yaitu keyakinan. Kita para ilmuwan percaya terhadap eksistensi dari dunia eksternal serta keabsahan dari logika kita. Kita merasa nyaman-nyaman saja dengan hal ini. Namun demikian, ini semua adalah peranan-peranan keyakinan. Kita tidak dapat membuktikannya”
(T.D. Singh. 2004)

Titik temu sains dan agama bukan saja pada realisasi kebenaran terakhir dari proses pencarian yang panjang, akan tetapi berawal dari bagaimana pencarian itu dilakukan. Upaya untuk menyingkap kebenaran ilmiah dikenal dengan nama metode ilmiah, yang dalam ajaran Hindu dikenal sebagai Catur Premana, yaitu : agama (sastra) premana (pengetahuan berdasarkan kesaksian orang lain), upamana premana (penalaran dengan perbandingan, analogi), anumana premana (penalaran logika), dan pratyaksa premana (pengamatan langsung). Kerangka berpikir dalam metode ilmiah tersebut yang selama ini diklaim oleh sains telah digunakan ribuan tahun yang lalu dalam Vedanta. Kerangka berpikir tersebut merupakan rangkaian proses logiko-hipotetiko-verifikasi, yang pada dasarnya terdiri dari tahap-tahap; perumusan masalah, penyususan kerangka berpikir (sastra premana), perumusan hipotesis (anumana premana), dan pengujian hipotesis (pratyaksa premana) untuk menarik suatu simpulan. (Suja. 2006).
Penjelasan tentang sains dalam Agama Hindu dapat ditemukan dalam uraian Kitab Suci Veda diantaranya dalam Upanisad. Upanisad merupakan kumpulan kitab yang disebut Veda Samhita, yang artinya kitab-kitab yang memuat penjelasan Veda. Upanisad dikenal pula dengan istilah Vedanta, yang berarti kesimpulan akhir dari Veda. (Titib. 1994.). Dalam menjelaskan Veda kitab-kitab Upanisad telah menggunakan sains untuk menjelaskan kebenaran-kebenaran rohani.
Chandogya Upanisad dalam menjelaskan keberadaan Brahman (Tuhan) yang berada dalam diri setiap makhluk menggunakan analogi sebagaimana garam yang larut dalam air, ia tidak nampak namun bisa dirasakan asin. Penjelasan ini disampaikan dalam bentuk dialog antara seorang ayah dengan anaknya. Dialog ini terdapat pada prapathaka ke 6, chanda 13, yang menyebutkan :
1. Lavanam etad udake ‘vadhaya, atha ma pratar upasidatha iti : sa ha tatha cakara, tam hovaca yad dosa lavanam udake ‘vadhah, anga tad ahareti, tad havam rsya na viveda yatha vilinam, evam.
2. Anganasyantad acameti katham iti; lavanam iti; madyat acamati, katham iti; lavanam iti; antad acameti, katham iti; lavanam iti; abhiprasyaitad atha mopasida tha iti; taddha tatha cakara, tac chasvat samvartate, tam hovaca atravava kila sat, saumya, na nibha layase, atraiva kila.
Artinya :
1. “Masukanlah garam ini dalam air, dan datang padaku besok pagi”. Ia mengerjakan seperti diperintahkan. Ayahnya berkata kepadanya : “Ambilkan aku garam yang engkau masukkan dalam air semalam” anak itu mencari, tidak menemukannya, karena tentunya, garam itu larut.
2. Ayahnya berkata ,”Rasakan airnya di bagian atas. Bagaimana ?” Anaknya berkata ,”Asin”. “Rasakan air di bagian bawah, bagaimana ?”. Anaknya berkata ,”Asin”. “Masukkanlah garam kembali ke dalam segelas air dan nanti datanglah kepadaku!” Anak itu mengerjakan seperti perintah ayahnya. Hasilnya selalu sama. Kemudian ayahnya berkata ,”Disini juga, dalam badan ini, tentu engkau tidak melihat yang Maha Tinggi (Sat), sayangku, tetapi Ia pasti ada”.
(Sadia. 1982. h. 140).

Svetasvatara Upanisad dalam Prapathaka I Chanda 16 juga menyebutkan analogi sains digunakan untuk menjelaskan tentang keberadaan Tuhan.
Tilesu tailam dadhiniva sarpir apas
srotassuaranisu cagnih
evam atmani grhyate’sau satyenaninam
tapasa yo’nupasyati
Artinya :
Seperti minyak yang dapat diperoleh dari biji sesam dengan jalan meremasnya, mentega dari air susu dengan jalan mengaduknya, air dari dasar sungai yang kering dengan jalan menggalinya, api dari kayu dengan jalan menggosok-gosoknya, demikian juga Diri Yang Maha Agung itu dapat dihayati keberadaan-Nya bila seseorang mencarinya dengan latihan rohani.
(Titib. 1994. h. 36)

Sama seperti ungkapan sloka Svetasvatara Upanisad, kitab Arjuna Wiwaha juga mengungkapkan analogi sains dalam menjelaskan metode pencarian personalitas tertinggi (Tuhan) dalam bentuk kekawin, seperti berikut ini :
1. Ong sembah ning anatha tinghalana de triloka sarana, wahyadhyatmika sembah i nghulun i jongta tan hana waneh, sang lwir agni sakeng tahen, kadi minyak sakeng dadhi kita, sang saksat metu yan hana wwang amuter tutur pinahayu.
2. Wyapiwayapaka sari ning parama tatwa durlabha kita, icchantang hana tan hana ganal alit lawan hala hayu, utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karana nika, sang sangkan para ning sarat sakala niskalatmaka kita.
3. Sasi wimba haneng ghata mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ring angambeki yoga kiteng sakala.
4. Katemunta mareka si tan katemu, kahidepta mareka si tan kahidep, kawenangta mareka si tan kawenang, paramarthasiwatwa nirawarana.
Artinya :
1. Aum Hyang Siwa, sembah hamba yang nista saksikanlah oleh-MU wahai penguasa tiga dunia. Dalam wujud nyata dan abstrak sembah sujud hamba-MU kehadapan duli kaki-MU tidak ada lain. Engkau bagaikan api yang keluar dari kayu dan ibarat minyak yang keluar dari santan. Kepada orang yang menekuni ajaran sucilah Engkau menampakkan diri.
2. Meresap pada semua makhluk hidup dan merupakan inti sari ajaran utama, sungguh sukar bagi seseorang untuk menemukan engkau. berkat takdir-MU, menciptakan yang tiada, yang besar dan kecil, yang baik maupun buruk. Kelahiran, kehidupan maupun kematian seseorang, Engkaulah sebagai penyebabnya. Engkau merupakan awal dan akhir dunia ini, Engkau berwujud nyata serta absrak.
3. Bagaikan bayangan bulan di dalam tempayan yang berisi air. Hanya setiap tempat yang suci tanpa noda terlihat bayangan bulan. Seakan-akan demikianlah Engkau terhadap semua manusia. Kepada orang yang sedang melaksanakan yogalah Engkau menampakkan diri.
4. Berhasil Engkau ditemukan yang belum pernah ditemukan. Diketahui Engkau yang belum pernah diketahui. Tercapailah Engkau yang belum pernah dicapai. Kebenaran Siwa tertinggi tak tersulubung.
(Warna I Wayan. 1988).

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat kita perhatikan bahwa sains telah digunakan dalam peradaban Veda dalam kurun waktu yang sangat lama. Dalam pencarian kebenaran mutlak yaitu Brahman, Veda menganalogikan seperti menemukan api dalam kayu atau menemukan minyak dalam santan. Untuk memunculkan api dalam kayu seseorang harus menggosokkan kayu sampai muncul api. Analogi yang dimaksudkan disini adalah, cara yang ditempuh untuk memunculkan api dalam kayu merupakan cara kerja sains atau fakta duniawi, akan tetapi keberadaan api di dalam kayu adalah misteri rohani. Demikian pula halnya dengan keberadaan minyak dalam santan. Proses isolasi minyak merupakan kerja ilmiah dan keberadaan minyak dalam kelapa adalah misteri rohani.

C. Pembelajaran Sains (Kimia) berwawasan Spiritual
Pemahaman akan hekikat kimia sebagai ilmu pengetahuan alam adalah bagian kecil dari penjabaran rtha (ilmu alam) dalam konsep vedic. Dalam praktik pembelajaraan dewasa ini hampir “meninggalkan” hakikat sebenarnya ilmu alam sebagai mikrokosmos yang mana substansi kesadaran kosmik terdapat di dalamnya. Jagadis Chandra Bose dengan alat teknologi temuannya yang diberi nama crescograph telah memberikan bukti ilmiah bahwa alam semesta yang menjadi kajian IPA mempunyai kesadaran emosi seperti manusia. Atas dasar ini Beliau merekomendasikan bahwa karakter manusia dapat dipelajari secara tidak langsung dengan memperhatikan dan menemukan karakter material penyusun alam. Jadi pemahaman akan hakikat kekuatan kosmik dalam setiap material telah menempatkan paradigma pembelajaran berwawasan spiritual sebagai suatu strategi yang cukup jitu.
Manusia (pembelajar) sebagai makhluk utama (“kata manusia”) mengutamakan otak sebagai alat dalam pembelajaran. Oleh karena otak juga merupakan material alamiah dengan kesadaran kosmik maka kesiapan belajarnyapun mesti disiapkan secara alamiah dan kesadaran kosmik pula. Berkenaan dengan hal ini, banyak peneliti yakin bahwa kita dapat menyerap informasi jauh lebih cepat dan efektif ketika otak berada dalam keadaan “waspada yang relaks”. (Gordon Dryden. 2000). Keadaan waspada relaks adalah suatu kondisi nyaman, tenang dan tanpa beban. Beberapa ahli filsafat Timur menyebut kondisi relaks sebagai metode awal meditasi yang dapat dilatih melalui pengembangan ketenangan mental yang diperoleh dengan latihan silent sitting (duduk hening). Atas dasar pemikiran otak sebagai agen utama dalam pembelajaran seperti penjelasan di atas , maka silent sitting (duduk hening) sebagai starter dalam pembelajaran sangat perlu untuk dilaksanakan.
Menurut Dave Meier dalam buku The Accelerated Learning Handbook mengemukakan bahwa, “Seluruh kegiatan belajar manusia dapat dikatakan mempunyai empat unsur/siklus, yaitu : 1) Persiapan (Preparation); 2) Penyampaian (Presentation); 3) Pelatihan (Practice) dan 4) Penampilan hasil (Performance). (Dave Meier. 2002).
Tahap persiapan (preparation) yaitu tahap awal/pondasi persiapan minat pembelajar untuk mengikuti proses pembelajaran. Pada tahapan ini calon pembelajar harus mempersiapkan diri dengan menghilangkan rintangan-rintangan belajar yang ada dalam dirinya, seperti perasan negatif, takut, minder dan lain sebagainya. Yang penting untuk diperhatikan oleh calon pembelajar dan pengajar, bahwa pada tahapan ini persiapan otak-pikiran sebagai agen pembelajar mutlak dilakukan. Analogi yang sering dikemukakan dalam proses pembelajaran adalah, otak pembelajar ibarat gelas wadah air, ilmu yang diberikan dianalogikan dengan air, guru dengan berbagai metode pendekatan dalam pembelajaran dianalogikan sebagai pemberi air. Dapat dikatakan dalam analogi ini, jika pembelajar tidak menyiapkan gelas (baca :otak) yang dibawa untuk menampung air, suatu misal gelas telah terisi penuh dan kacau, atau terbalik, maka betapapun hebat dan lebatnya hujan (baca : materi pelajaran) tak setitik air pun dapat ditampung oleh gelas dalam kondisi demikian. Arti dari analogi ini adalah, otak sebagai agen pembelajaran harus dipersiapkan secara matang untuk mengeliminir rintangan-rintangan belajar yang ada. Mengenai rintangan, banyak orang yang menyimpan perasaan negatif tanpa menyadarinya. Berdasarkan pengalaman masa lalu, mereka mungkin mengaitkan situasi belajar formal dengan pengurungan, kebosanan, hal-hal yang tidak relevan, rasa takut dipermalukan, dan stres. Jika rintangan ini tidak diatasi, belajar cepat dan efektif akan terhenti tepat sebelum dimulai.(Dave Meier. 2002).
Berkenaan dengan usaha mengeliminir rintangan-rintangan belajar, metode yang dapat dilakukan adalah mencipta sugesti positip dalam pikiran calon pembelajar. Salah satu metode yang telah dan sedang berkembang dewasa ini adalah “metode relaksasi”. Menurut Gordon, setiap sesi belajar yang berhasil selalu dimulai dengan relaksasi; yaitu suatu proses membersihkan pikiran sehingga dapat menerima pesan yang tidak kacau dan menyimpannya dalam file yang benar.(Gordon. 2000). Teknik relaksasi yang disarankan oleh Gordon yaitu duduk relaks dengan mengatur pernafasan. Gordon juga mengungkapkan bahwa, “Sumber listrik otak itu adalah makanan yang baik dikombinasikan dengan oksigen. Tentu saja,Anda mendapat oksigen melalui pernafasan. Inilah sebabnya bernafas dalam-dalam sangat disarankan sebelum dan selama belajar”. (Gordon. 2000). Dalam filsafat timur proses latihan pernafasan dikenal dengan istilan pranayama. Jika pranayama dilatih dalam kondisi relaksasi maka otot otak akan mendapatkan energi maksimum sebelum dan sesudah pembelajaran. Atas dasar ini, maka latihan relaksasi dengan silent sitting (duduk hening) mutlak dilakukan agar otak sebagai agen pembelajar benar-benar siap. Demikian tahap persiapan sebagai tahap/siklus awal dalam pembelajaran.
Tahap penyampaian (presentation) merupakan tahapan ke dua dalam siklus pembelajaran. Tahapan ini oleh Dave Meier disebut sebagai perjumpaan pertama dengan pengetahuan atau keterampilan baru. (Dave Meier. 2002). Sebagai perjumpaan pertama dalam pembelajaran, maka tahapan ini memegang peranan penting. Dave Meier menyarankan, “Pada tahap penyampaian kita harus memanfatkan kekuatan seluruh pikiran dan seluruh diri kita untuk belajar. Kita tahu bahwa memanfaatkan seluruh otak merupakan kunci untuk membuat belajar lebih cepat, lebih menarik dan lebih efektif. (Dave Meier. 2002).
Pelatihan (Pratice), yaitu suatu tahapan integrasi pengetahuan atau keterampilan baru yang telah dipelajari guna pengembangan aktivitas secara mandiri maupun kelompok. Pada tahapan ini pembelajar akan menggunakan pengetahuan yang diperoleh guna memecahkan suatu persoalan melalui kelompok-kelompok diskusi/kerja.
Penampilan hasil (Perfomance), yaitu suatu tahapan penerapan pengetahuan atau keterampilan pada situasi dunia nyata atau menyelesaikan problem yang ada seperti tes akhir pembelajaran dan sejenisnya.
Keempat proses pembelajaran tersebut di atas merupakan rangkaian yang tidak terpisah, akan tetapi saling melengkapi dan menguatkan. Jika dibaratkan dengan pohon, maka tahap persiapan adalah akar, tahap presentasi adalah batang dan ranting, tahap penampilan adalah daun juga bunga, dan tahap performance merupakan buahnya. Satu kesatuan “pohon belajar” ini harus ada dalam pembelajaran. Jika salah satu dari empat tahap itu tidak ada, belajar pun merosot atau terhenti sama sekali.
Tahap persiapan merupakan tahap terpenting dalam siklus pembelajaran. Pada tahap ini seorang calon pembelajar harus berani mengesampingkan segala tantangan atau rintangan belajar yang ada dalam dirinya melalui suatu latihan relaksasi atau penenangan dengan penerapan metode silent sitting (duduk hening).
Disamping keempat tahapan pembelajaran di atas yang terpenting dalam pembelajaran saisn berwawasan spiritual adalah kemampuan guru dalam memaknai (mesmerthikan) materi ajar ke dalam kajian spiritual. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini antara lain :
v Makna yang satu dalam keaneka ragaman dan keaneragaman dalam yang satu sangat mudah dimengerti siswa dalam materi pemisahan campuran seperti proses kromatografi , satu warna dapat terurai menjadi banyak warna penyusunnya. Dalam sebuah kromatogram tampak jelas bagaimana sebuah warna terurai menjadi beraneka warna. Jelas satu kesatuan tersusun dari oleh sekian banyak perbedaan. Jadi jika yang berbeda mengumpul hendaknya terwujud persatuan. Demikian pula halnya dalam suatu atom terdapat tiga partikel dengan sifat berbeda tatapi dapat menyatu dalam satu kesatuan “karakter “ atomik.
v Makna spiritual/filsafat bahwa dalam yang kecil ada kekuatan luar biasa dan dalam yang luar biasa ada partikel kecil. (Yang besar ada dalam yang kecil dan yang kecil ada dalam yang besar), dapat dijelaskan melalui struktur atom dan kekuatan dasyat yang disebabkan bom atomik dengan reaksi berantai penembakan proton dan netron. Jika dalam satu atom hidrogen dengan 1 netron tersimpan energi yang maha dasyat sehingga dalam perang dunia II Hirosima-Nagasaki hancur karenanya membuktikan bahwa dalam yang kecil tersimpan kekuatan kosmik yang teramat besar.
v Masih banyak lagi nilai-nilai spiritual yang terdapat dalam materi pelajaran IPA (kimia) termasuk dalam metode ilmiahnya seperti catur pramana, catur marga dan yang lainnya.

Referensi
Anand Krishna. 2002. Meniti Kehidupan Bersama Para Yogi, Fakir dan Mistik, Jakarta : PT Gramedia.
Daniel Goleman. 2001. Working with Enotional Intelegence, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih bahsa Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta : PT. Gramedia.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor. 20. Tentang Sistem Pendidikan Nasional . : Jakarta.
Gordon Dryden & Jeannette Vos, Dr. 2000. Revolusi Cara Belajar. (Alih bahasa Word+Translation Service). Bandung : Penerbit Kaifa.
Indra Djati Sidi. 2003. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu.
Maswinara Wayan. 1998. Ilmu Pengetahuan dan Spiritual Berdasarkan Veda. Surabaya : Paramita
Rasta-Turya Adnyani.2007. Laporan Penelitian Tindakan Kelas Penerapan Analogi Sains dalam Pembelajaran Agama Hindu untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa di Kelas XI IPa SMA Negeri 1 Kubu tahun Pelajaran 2006/2007.
Roy Budi Efferin. 2006. Sains dan Spiritualitas Dari Nalar Fisika Hingga Bahasa Para Dewa. Jakarta : One Earth Media.
Sumar Hendayana, dkk. 2007. Leson Study Pengalaman Lapangan. Bandung : IMSTEP-JICA.
Sadia. 1982. Chandogya Upanisad. Jakarta : Maya Sari.
Sri Satya Sai Trust. 1998. Ilmu Pengetahuan dan Spiritual Berdasarkan Weda. Surabaya : Paramita.
Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. 2004. Kehidupan berasal dari Kehidupan. Jakarta : Hunuman Sakti.
Sri Swami Siwananda. 1994. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita.
Suja Wayan. 2000. Titik Temu IPTEK dan Agama Hindu. Denpasar : Manik Geni.
................ 2006. Sains Veda Sinergisme Logika Barat dan Kebijakan Timur. Denpasar : Raditya.
Supriyadi. 2007. Classroom Action ReaeRCH. Bogor: Makalah Workshop.
T.D. Singh Ph.D. 2004. Seven Nobellaureates on Science and Spirituality. Kalkuta : Bhaktivedanta Institute.
T.D. Singh Ph.D. 2005. Vedanta dan Sains Kehidupan dan Asal Mula Jagat Raya.. Jakarta : Hanuman Sakti.
T.D. Singh Ph.D. 2006. The Scientific Basis of Krisnha Consciousness. Kalkuta : .
Warna I Wayan. 1988. Kekawin Arjuna Wiwaha. Denpasar : Depdikdas Provinsi Dati I Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar