Jumat, 14 Agustus 2009

BANTEN


MAKNA DAN FUNGSI BUAH DALAM UPACARA YAJÑA
Oleh : Rasta & Turya Adnyani

patram puspam phalam toyam yo me bhaktyã prayacchati, tad aham bhaktyaupahrtam asnãmi prayatãtmanah” (Bhagawadgita.IX.26).

A. Pendahuluan

Ada empat inti sari persembahan sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawadgita sloka. IX.26, yaitu ; 1) patram (sehelai daun), 2) puspam (setangkai bunga), 3) phalam (sebiji buah-buahan), dan 4) toyam (seteguk air). Dari ke empat inti persembahan yang menjadi pondasi utama sebuah banten kesemuanya mempunyai makna simbolik. Menurut Wiana (2001:5), banten bukanlah makanan untuk disuguhkan pada Hyang Widhi. Banten merupakan bahasa simbolik yang sangat sakral menurut pandangan Hindu. Sebagai bahasa simbol banten merupakan media untuk menyampaikan sradha dan bhakti pada ke-Mahakuasaan Hyang Widhi. Banten juga merupakan bentuk budaya sakral keagamaan yang didalamnya terdapat nilai-nilai universal. Dengan demikian, setiap unsur dalam suatu persembahan mengandung makna simbolik yang bersifat religius. Namun demikian, phenomena yang terjadi, banyak umat Hindu yang tidak mengetahui makna dan fungsi sarana upacara termasuk banten yang digunakan sebagai persembahan. Pemikiran orang awam tentu bertolak belakang dengan pendapat Wiana, bahwa persembahan merupakan “makanan” Tuhan. Kenyataan ini tertuang dalam pendapat umum bahwa “Ida Bhatara nyari banten” yang maknanya secara umum bahwa Tuhan “memakan” inti sari dari banten. Jika kondisi ini dihadapkan pada keabsahan logika bahwa , Tuhan sebagai pencipta alam semesta tentu tidak akan “memakan” ciptaan-Nya. Lagi pula sebagai Sang Pencipta, sudah pasti Tuhan tidak perlu setangkai daun, setangkai bunga, sebiji buah, atau seteguk air untuk memuaskan “dahaga” Beliau. Namun yang terpenting dari semua itu adalah bhaktyaupahrtam asnãmi prayatãtmanah (persembahan bhakti bagi orang yang berhati suci).

Banten bukanlah satu-satunya bentuk simbolik dalam Agama Hindu, menurut Titib (2003:1), Agama Hindu sangat kaya dengan berbagai simbol, penampilannya sangat indah dan menarik hati setiap orang. Bagi umat Hindu simbol-simbol tersebut menggetarkan kalbu. Umat Hindu tidak seluruhnya mampu memahami makna di balik simbol-simbol tersebut. Tingkat pendidikan umat yang semakin maju menuntut pemahaman terhadap simbol-simbol lebih masuk akal sesuai konsep Weda.

Banten sebagai bentuk simbolik yang paling mendasar dalam segala aktivitas keagamaan memegang peran yang sangat penting dan strategis untuk dikaji. Surayin (2002;58) menyebutkan, “Bahwa bebanten adalah merupakan cetusan hati manusia/umat yang beragama Hindu, sebagai pernyataan rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atas karunia dan kehidupan yang diberikan-Nya”. Sebagai perwujudan bhakti maka banten yang mempunyai empat elemen dasar, daun, bunga, buah dan air, sebagaimana disebutkan dalam seloka Bhagawadgita, sudah pasti mempunyai makna simbolik yang sangat mendalam. Perlu kiranya kajian mendalam akan makna dan fungsi ke empat elemen dasar penyusun banten tersebut.

Atas dasar tersebut di atas, maka berikut ini akan dikaji secara singkat makna dan fungsi satu dari empat elemen dasar dimaksud, yaitu buah. Phenomena bahwa buah mempunyai beragam makna dan fungsi sesuai jenis dan bentuknya, namun demikian yang akan dikaji disini hanyalah persoalan secara umum, dan tidak menyangkut bentuk tertentu dari banten, yaitu : “Bagaimana makna dan fungsi buah dalam upacara yajna ?”. Kajian ini di dasarkan pada phenomena bahwa setiap bebanten sudah dapat dipastikan tidak akan lengkap tanpa buah. Oleh karena itu umat Hindu harus menyadari bahwa buah mempunyai makna dan fungsi simbolik yang religius.

B. Pembahasan : Makna dan Fungsi Buah dalam Upacara Yajña.

Buah, secara arti kata disebut sebagai, bagian tumbuhan yang berasal dari bunga atau putik, biasanya berbiji. (Poerwadarminta. 1999:152). Buah juga dapat diartikan sebagai, pendapatan; hasil; akibat, dan lain sebagainya tergantung konteks kalimat atau kata yang menyertainya. Secara umum, dalam konteks banten buah yang dimaksud adalah hasil produksi dari tumbuhan melalui proses pembuahan dari bunga. Atas dasar ini, buah dapat diartikan sebagai hasil produksi dari suatu proses fotosintesis tumbuhan dengan suatu phenomena atau kemujizatan alam. Jika buah merupakan “hasil” dari suatu karya agung tumbuh-tumbuhan, maka makna dan fungsi buah dapat dikaji dari proses ini.

Pada proses terjadinya buah secara fotosintesis, pada awalnya tanaman mendapatkan makanan dari dalam tanah (unsur bhutakala/Danawa), udara serta sinar matahari dari alam (unsur Dewa/Madawa), serta mendapat pemeliharaan dan perawatan dari manusia (unsur Manawa). Sebelum terjadinya buah, tiga unsur memegang peranan penting yaitu, bhutakala, Dewa, dan Manusia. Atas dasar ini sangat mudah dimengerti bahwa, buah sebagai produk tumbuh-tumbuhan dihasilkan karena “saham” dari Bhutakala, Dewa, dan Manusia, sehingga secara wajar ketiga penanam “saham” tersebut berhak atas hasil (buah) bersangkutan. Jadi persembahan buah dimaksudkan pengembalian “saham” atau “modal” kepada yang berhak. Sehingga, makna buah sebagai persembahan dalam suatu upacara yajña dapat diartikan pengembalian unsur alamiah kepada yang berhak sehingga keharmonisan dan keseimbangan alam tetap terjaga.

Buah, juga bermakna hasil, sehingga dalam konteks karma , buah dikatakan sebagai phala yang wajib dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sehingga manusia tidak terikat akan hasil kerja, dan menjadikan kerja sebagai persebahan, brahma karma samadhinah. Pada intinya, buah diartikan secara leksikal berdasarkan jenis buah yang dijadikan pondasi atau dasar persembahan, misalnya pisang atau biyu kayu dalam banten pejati diartikan biu kayu nga; hyuning citta maring hayu; biu ngaran hayu, kayu ngaran kayun, yang maksudnya sebagai lambang pikiran yang suci dan jernih. (Sri Arwati. 2002; 18).

Contoh lain, buah kelapa dalam daksina mempunyai makna sebagai lambang alam semesta yang sering dikenal sebagai bhuwana agung. Secara simbolis alam semesta beserta susunannya dapat dipahami melalui analogi buah kelapa. Pustaka lontar Aji Sangkya (dalam (Sri Arwati. 2002: 14). disebutkan bahwa buah kelapa dalam setiap persembahan atau bebanten mempunyai makna atau perlambang alam semesta dengan empat belas lapisan yang terbagi atas tujuh lapisan alam atas (sapta loka) dan tujuh lapisan alam bawah (sapta patala). Lambang sapta patala dalam buah kelapa terdiri dari ; 1) air kelapa sebagai lambang alam/wilayah mahatala, 2) bagian isi kelapa yang lembut lambang alam/wilayah tala-tala, 3) isi kelapa yang putih sebagai lambang alam/wilayah tala, 4) lapisan pada isi kelapa sebagai simbol alam antala, 5) lapisan isi bagian dalam yang keras merupakan perlambang wilayah sutala, 6) lapisan tipis paling dalam yang berwarna coklat merupakan lambang wilayah nitala, dan 7) batok kelapa merupakan lambang wilayah patala. Sementara lambang sapta loka pada buah kelapa disebutkan. 1) Bulu batok kelapa sebagai perlambang bhur loka, 2) serat saluran kelapa merupakan lambang bhwah loka, 3) serat serabut basah sebagai lambang swah loka, 4) serabut basah perlambang maha loka, 5) serabut kering merupakan simbolik jnana loka, 6) kulit serat kering perlambang tapa loka, dan 7) kulit serat kering bagian luar merupakan wilayah satya loka.

Secara harfiah makna dan fungsi buah dalam upacara yajña mengikuti jenis dan bentuk buah yang dipersembahkan. Buah mangga, dapat diartikan sebagai persembahan diri, karena arti kata ma-angga dalam bahasa Kawi maupun Sansekerta berarti diri sendiri.

Penggunaan buah dalam upacara yajña juga bermakna simbolik badan manusia yang mengandung benih kehidupan. Hal ini disimbolisasi bahwa pada umumnya buah mengandung biji dan biji buah merupakan benih kehidupan atau bakal tumbuhan. (Agung Mas. 1994 :17). Atas dasar ini buah juga diartikan sebagai bija atau benih kehidupan yang mempunyai pengertian sebagai brahmananda (telurnya Brahma). Karena benih kehidupan berasal dari Ida Sang Hyang Widhi maka persembahan buah sebagai benih kehidupan bermakna pengembalian benih tersebut kepada pemilik-Nya dalam upaya menjaga keseimbangan alam.

Pada intinya, buah sebagai persembahan mempunyai makna penyerahan diri yang tulus ikhlas kehadapan Sang Pencipta sebagai perwujudan rasa bhakti atas karunia-Nya. Buah mempunyai makna dan fungsi yang sakral karena berarti segala sesuatu akan kembali ke asalnya. Hal ini dapat diartikan dari suku kata pha dan lam . Pha berarti asal dan lam berarti kembali. Jadi persembahan buah atau phalam mempunyai makna bahwa sesungguhnya seluruh umat manusia pasti akan kembali kepada Sang Pencipta sebagai tempat asal dari mana seluruh makhluk bermula. Konsep ini merupakan implementasitasi dari falsafah mosartham jagadhita ya ca iti dharma yang berarti, bahwa kewajiban utama umat manusia adalah menjaga keseimbangan alam semesta secara duniawi maupun spiritual. Persembahan buah merupakan realita dari tujuan mulia di maksud.

Demikian secara singkat dapat dikupas, makna dan fungsi buah dalam upacara yajña. Semoga berarti.

C. Penutup

Buah dalam upacara agama Hindu mempunyai makna dan fungsi simbolik sebagai wujud persembahan rasa bhakti yang tulus kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Secara leksikal makna buah tergantung pada jenis buah yang dipersembahkan, dan hal ini erat kaitannya denga jenis banten yang dipersembahkan. Namun demikian secara umum buah bermakna persembahan bhakti yang pada hakikatnya merupakan perwujudan dan penyerahan diri manusia secara utuh kehadapan Tuhan sebagai asal mula segala yang ada. Persembahan buah berfungsi menjaga keseimbangan alam melalui pengembalian unsur-unsir kosmik yang membentuk buah melalui suatu proses alam semesta yang disebut fotosintesis.

D. Referens

Agus Mas Putra. 1994. Upakara Yadnya. Denpasar : Kayu Mas.

Poerwadarminta W.J.S. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Puja Gede. 1981. Bhagawadgita (Pancama Weda). Jakarta : Maya Sari.

Sri Arwati. 1999. Upacara Upakara. Denpasar : Upada Sastra.

…………... 2002. Banten Pejati. Denpasar : Upada Sastra.

Surayin Ida Ayu Putu. 2002. Melangkah ke Arah Persiapan Upakara Upacara Yajña. Surabaya : Paramita.

Tjok Rai Sudharta, dkk. 2001. Upadesa tentang Ajarang-Ajaran Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

Titib I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

Wiana Ketut. 1995. Yajña dan Bhakti dari Sudut Pandang Hindu. Denpasar : Manikgeni.

……………..2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan . Surabaya : Paramita.

…………... 2001. Makna Upacara Yajǹa Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

Wijayananda Mpu. 2003. Tetandingan lan Sorohan Bebanten. Surabaya : Paramita.

Rabu, 12 Agustus 2009

Dolanan Bali

KONSEP KARMA PHALA PADA DOLANAN “GOAK MALING TALUH”

Oleh : Rasta & Kadek Turya Adnyani

Manusia hendaknya menyelidiki dengan seksama prinsip yang berlaku dalam suatu hal atau peristiwa…Segala sesuatu dan diri diatur oleh prinsip yang sama. Jika engkau dapat memahami salah satunya, maka engkau akan dapat memahami yang lainnya, sebab kebenaran yang ada di dalam dan di luar itu adalah sama”, (Cheng Yishu, Abad ke-11).


Om Swastyastu,

Kenangan manis masa kecil tak terlupakan, manakala bermain bersama dengan nyanyian Goak Maling Taluh. Nyanyian anak-anak yang kini dikenal dengan istilah dolanan nyaris tidak terdengar lagi.

Syair goak maling taluh terdengar sederhana dengan irama atau ritme yang mudah, dan sang pengarang pun sampai saat ini masih anonim Dibalik kesederhanaan syairnya tersirat dan tersurat makna filsosofis yang mendalam tentang hakekat Karma Phala. Kata-kata Cheng Yishu, dalam konteks ini terbukti benar, bahwa ada kebenaran dalan sesuatu apabila kita menyelidiki dengan seksama.

Bagaimanakah syair dan makna lagu dolanan goak maling taluh ?

Mari disimak uraian berikut………………….!

Syair lagu dolanan goak maling taluh yang mengiringi permainan megala-galaan anak-anak Bali tempoe doloe masih terngiang seperti berikut.

Goak maling taluh gentang renteng kayu lengkong;

Nyen uli bedauh natad meng ngadut meong”

Kata goak berarti burung gagak yang berwarna hitam dengan bunyi goak-goak. Jadi pemberian nama goak sesuai suara dari burung dimaksud. Di Bali di kenal dua jenis goak, yaitu goak bunga yang bentuk dan ukuran tubuhnya kecil dengan suara yang kecil nyaring, dan goak bangke dengan suara besar galau dan menyeramkan. Burung goak adalah jenis burung yang tergolong carnipora, yaitu pemangsa binatang lain seperti ular, tikus, anak ayam, itik dan burung-burung kecil lainnya. Burung goak di Bali merupakan burung yang menjadi tetengger atau ciri-ciri hal-hal buruk akan terjadi pada suatu wilayah seperti terjangkitnya penyakit, kematian dan lain sebagainya.

Kata goak pada dolanan goak maling taluh mempunyai makna seseorang yang dalam hidupnya selalu berbuat tidak baik. Satu dari perbuatan burung goak tersebut dalam dolanan di atas dikatakan maling taluh yang secara bebas diartikan mencuri telur. Kata maling jelas merujuk pada suatu perbuatan hina yang dilarang dalam ajaran agama Hindu. Sementara kata taluh yang berarti telur dapat dimaknai sebagai benih kehidupan yang disebut brahmananda. Telur kehidupan inilah yang akan dicuri oleh burung gagak sesuai makna dolanan di atas. Perbuatan mencuri benih kehidupan dikatakan sebagai perbuatan hina yang dijelaskan dalam kata-kata simbolik getang renteng. Kata gedang yang berarti papaya, jika dipadukan dengan kata renteng berarti papaya yang hanya berbunga berantai-rantai dan tidak pernah menjadi buah. Gedang renteng di Bali diyakini sebagai tempat atau sarana ilmu hitam atau majik. Jadi kegiatan atau perbuatan mencuri merupakan kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu aturan agama atau orang-orang yang menjalankan ilmu hitam.

Penegasan bahwa perilaku menyimpang atau melanggar dharma sebagaimana diceritakan dalam dolanan goak maling taluh merupakan perbuatan yang menyesatkan. Perbuatan ini dianalogikakan seperti kayu lengkong yang secara bebas diterjemahkan sebagai kayu bengkok. Kayu dalam makna kias berarti kayun atau keinginan pikiran, sedangkan kata bengkok berarti tidak lurus atau tidak sesuai dengan kaidah - kaidah kebenaran. Dengan demikian kayu lengkong bermakna pikiran seseorang yang menyimpang dan tidak sesuai dengan petunjuk ajaran agama.

Secara satu kesatuan kalimat goak maling taluh gedang renteng kayu lengkong mengandung cerita atau analogi perbuatan seseorang yang tidak baik bagaikan burung gagak mencuri telur kehidupan sebagaimana perilaku para penekun ilmu hitam yang pikirannya bengkon dan tidak mungkin diluruskan. Namun demikian, pada bait kedua ditekankan bahwa apapun yang dilakukan seseorang di dunia ini harus dipertanggungjawabkan pada saat dia pulang ke alam sunya. Penekanan ini tersirat pada kalimat nyen uli bedauh natad meng ngadut meong. Secara bebas kalimat tersebut dapat diterjemahkan “ Siapa yang datang dari Barat membawa atau menarik (natad) kucing dan membunting (ngadut ) meong.

Datang dari Barat berarti pula berjalan menuju Timur. Arah Timur dalam konteks ajaran Hindu adalah arah suci sebagai tempat terbitnya matahari yang disebut pula sunya loka. Arah sunya loka merupakan simbolisasi arah yang dituju oleh ‘roh’ setelah kematian tiba. Jika seseorang berjalan menuju Timur pada posisi matahari masih di Timur maka ia akan diikuti oleh bayangannya. Bayangan dapat dianalogikakan sebagai hasil perbuatan. Dengan demikian seseorang yang datang dari Barat diartikan sebagai ‘roh’ yang berjalan menuju sunya loka setelah ajal tiba. Kedatangan seseorang ke sunya loka pada akhir hayatnya diikuti oleh hasil perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya. Jika dia berbuat tidak baik sebagaimana disimbolisasi dengan membawa kucing (natad dan ngadut meng atau meong) maka segala bentuk perbuatan tidak baiknya akan terus mengikuti perjalanan sang roh. Hal ini juga berarti bahwa seseorang pada akhirnya tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan karma phala.

Baik buruk perbuatan seseorang sebagaimana digambarkan pada lagu dolanan goak maling taluh pada akhirnya akan mengikuti perjalanan akhir ‘Sang Roh” menuju sunya loka atau alam ‘akhirat’. Gambaran tentang akibat dari perbuatan atau karma phala tersebut di sampaikan secara sederhana dalam lagu atau dolanan melalui suatu permainan megala-galaan. Jika kita kaitkan dengan permainan ini dan disimak dari arti kata gala yang berarti rintangan, maka permainan megala-galaan yang berarti memberikan rintangan kepada seseorang untuk mencari rumahnya. Permainan ini dengan lagu yang dinyanyikan jelas menyiratkan tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah menuju pulang ke rumah. Rumah abadi seluruh makhluk adalah Tuhan. Makhluk hidup berasal dari Tuhan dan pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan. Konsep ini dalam ajaran Hindu di sebut moksa. Dengan demikian, permainan megala-galaan dengan lagu dolanan goak maling taluh secara implisit mengajarkan dua bagian penting dari Panca Sradha yaitu Karma phala dan Moksa.

Permainan megala-galaan adalah suatu bentuk permainan beregu yang terdiri dari dua regu. Setiap regu terdiri dari tiga orang. Dengan opipa atau syut regu yang dinyatakan menang dapat memulai permainan menjadi gerup pencari rumah. Dalam perjalanan mencari rumah (biasanya ada tiga kotak yang dianggap rumah) dihalangi oleh regu lawan yang menjaga garis setiap wilayah rumah. Jika ada yang tersentuh tangan penjaga garis maka orang yang ada dalam kotak permainan (rumah) dinyatakan mati dan keluar dari arena. Apabila ke tiga orang dari regu tersebut dapat dijangkau tangan dari garis kotak oleh penjaga garis dari regu lain maka regu yang ada dalam kotak giliran menjadi penjaga garis dan regu yang tadinya menjaga garis memulai permainan. Apabila regu yang mencari rumah bisa melewati penjaga garis dengan mulus dan sampai pada rumah berikutnya maka akan mendapat nilai. Regu siapa yang mendapat nilai terbanyak sampai akhir permainan maka akan keluar sebagai pemenang. Hal yang menyenangkan bahwa dalam setiap sesi permainan selalu diikuti lagu atau dolanan goak maling taluh.

Dalam menyanyikan dolanan goak maling taluh biasanya dilakukan bergilir dari regu penjaga garis sampai regu yang ada dalam kotak permainan.

Permainan megala-galaan dengan nyanyian goak maling taluh merupakan iplementasi konsep pembelajaran menyenangkan, melajah sambil mapelalian, dan mapelalian sambil melajah, yaitu suatu konsep pendidikan tradisonal Bali yang menekankan aspek belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar.

Demikianlah makna filofosis lagu dolanan goak maling taluh dari sudut kajian filsafat pendidikan Hindu.

Om Santih, Santih, Santih Om.

Semoga bermakna…..!


Daftar Pustaka

Anadas Ra. 2004. Hukum Karma. Surabaya : Paramita.

Jayaram.. 2000. Memaknai Lagu Dolanan. Singaraja: Presspri.

Jendra Wayan. Karmaphala. Denpasar : Dewa Printing.

Sabtu, 06 Juni 2009

Mutiara Kehidupan

Renungan 24-10-98 s/d 30-04-2005, diedit 7 Juni 2009
  1. Aku membaca, tetapi aku sering lupa apa yang telah aku baca. Itu semua bagaikan hujan dihalau angin dan terik, tiada guna.
  2. Kamu harus mempraktekkan apa yang telah kamu baca, maka pesan Illahi itu tak akan pernah kamu lupa.
  3. Jangan biarkan tanah yang subur menjadi tandus dipenuhi duri dan rumput liar. Olahlah hati dengan aliran kasih sayang, taburlah benih nama Tuhan dan cabutlah rumput-rumput keserakahan. Awasilah tanaman yang tumbuh dan pagarilah dengan disiplin, bersukacitalah bila bunga meditasi bermekaran dan gandum kebahagiaan dituai.
  4. Bila orang bernafas dalam udara yang harum dengan nama tuhan maka segala dorongan egois akan hilang. Bila nama Tuhan dinyanyikan, maka kisah mengenai asal-usul nama tersebut secara kudus dibawanya dan nuansa maknanya juga akan diingat. Itu bukanlah sekedar olah raga bagi lidah tetapi juga olah raga bagi pikiran, nama smaranam bermanfaat untuk menguatkan dengan tonik nada-nada surgawi memperbaikinya dengan tekanan pukulan gendang-gendang serta menyembuhkannya dengan obat suka cita illahi yang timbul dari pergaulan dengan orang baik.
  5. Bagaimana mungkin benih yang bagus akan tumbuh baik dalam medium yang gersang ? Siapkanlah dirimu menjadi medium dharma maka benih dharma akan tumbuh, berkembang, dan bersemi secara alami dalam dirimu.
  6. Kamu harus pahami bahwa kehidupan ini adalah sebuah proses. Bagaikan segemgam rumput yang melewati perut sapi kemudian keluar sebagai kotoran menjijikkan bagi kebanyakan orang, akan tetapi setelah kotoran itu mengering dan para petani memanfaatkannya sebagai pupuk, tanaman menjadi tumbuh subur dan pada gilirannya menghasilkan buah yang ranum. Jika pandangan dan pemahamanmu hanya terhenti pada satu proses tanpa menelusuri keterkaitan antar proses, maka kamu terjebak pada pandangan picik sebagimana pandanganmu terhadap kotoran sapi itu. Akan tetapi jika kamu menelusuri lebih lanjut, maka kamu akan menemukan bagaimana kotoran sapi dapat menghasilkan buah yang ranum, dan pada saat menikmatinya tak seorangpun memikirkan kotoran sapi yang menjijikan itu. Demikian pula kebahagiaan hidup tak pernah kamu nikmati manakala derita tiada pernah menjamahmu.
  7. Jika kamu merasakan dirimu lbih dari orang lain, ini pertanda kemunduran, jika orang lain menilaimu lebih dan kamu tidak terpengaruh oleh penilaian tersebut, itulah kemajuan.

Jumat, 05 Juni 2009

Pembelajaran

PEMBELAJARAN SAINS (KIMIA) BERWAWASAN SPIRITUAL
Makalah
Oleh : *Rasta
“Sains - Spiritual (S2) merupakan metode pencarian kebenaran yang seolah berbeda akan tetapi menuju kebenaran mutlak yang sama”

A. Pengantar
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU RI. No. 20 : 2003 :6).
Sebagai usaha sadar dan terencana maka seorang pendidik sudah seharusnya memahami landasan pendidikan. Salah satu landasan pendidikan adalah psikologi. Psikologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. (Sarwono, 1992: 16). Dengan pemahaman ilmu kejiwaan maka akan dilahirkan sistem pendidikan yang “berjiwa”. Artinya, setiap pendidik menyadari “benang merah” antar dan inter disiplin ilmu yang diajarkan, sehingga nantinya berkembang suatu model pembelajaran yang holistik. Suatu contoh model pembelajaran yang bersifat holistik adalah model pembelajaran sains (kimia) berwawasan spiritual. Hal ini dimaksudkan dalam upaya merealisasikan tujuan pendidikan nasional sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sisdiknas No, 20 tahun 2003, yaitu :
“Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. (UU RI No. 20.2003 : 11).

Sudahkah tujuan pendidikan nasional ini tercapai ? Beberapa fenomena menunjukkan bahwa belakangan ini anak-anak kita, secara pukul rata tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan lebih sulit diatur, demikian disebutkan oleh Daniel Goleman dalam buku Working with Emotional Inteligence. (Daniel Goleman, 2001:17). Kasus yang ada di sekitar kita juga menunjukkan bukti bahwa pernyataan Goleman memang mendasar. Salah satu kasus ,”Seorang pelajar nekat bunuh diri”, sementara orang tuanya adalah Sarjana Pendidikan, membuktikan bahwa pendekatan pendidikan sudah seharusnya menyentuh paradigma perubahan kejiwaan anak. (Bali Post, 14 September 2007 ).
Beberapa fenomena lainya yang sering teramati seakan sebagai kegiatan kotinuitas, seperti : tawuran antar pelajar, aksi corat-coret setelah lulus ujian, dan tidak takutnya siswa untuk ngerpek, nyontek demi nilai (hasil tes) merupakan indikasi terjadinya kemerosotan moral pendidikan di negara kita, “Apakah ini indikasi kegagalan sistem pendidikan kita?”. Jawaban atas pertanyaan ini adalah perenungan internal dari insani pendidikan, termasuk kita.
Disamping phenomena di atas, khusus dalam pembelajaran kimia beberapa isu yang “santer” terdengar bukan saja dari siswa akan tetapi juga dari guru-guru kimia, antara lain :
Pelajaran kimia adalah pelajaran sulit,
Pelajaran kimia membosankan,
Pelajaran kimia penuh rumus dan simbul-simbul yang kering tanpa makna,
Pelajaran kimia adalah salah satu pelajaran yang tidak diminati siswa karena berbagai alasan,
dan lain sebagainya.....
Berbagai isu negatif tentang pelajaran kimia seakan membuat “kita bangga” bahwa pelajaran kimia adalah pelajaran “berwibawa”. Sebagai guru kimia, hendaknya kita megeleminir isu negatif tersebut menjadi isu positip bahwa pelajaran kimia mudah, menyenangkan dan penuh makna spiritualitas.
Bertolak dari uraian inilah diperlukan suatu upaya baru dalam pembelajaran sains (kimia), salah satunya adalah pengembangan pembelajaran sains (Kimia) berwawasan spiritual.

B. Hubungan Sains dan Spiritualitas (S2)
Hubungan sains-spiritual didasarkan pada persepsi mendasar dari perkataan Enstein sebagai bapak sains yang mengatakan ,”Sains tanpa agama buta, agama tanpa sains lumpuh” (T.D. Singh, Ph.D. 2004). Artinya ; jika para ilmuwan (saintis) tanpa memahami agama maka hasil ilmunya akan dapat menghancurkan diri dan lingkungannya, demikian pula jika rohaniawan (agamais) tanpa pemahaman sains akan menjadikannya egois dan ortodok. Intinya, bukan pada pendekatan bagaimana agama dan sains memulai sebuah pencarian/kajian, akan tetapi terletak pada hasil akhir bagaimana kebenaran memunculkan diri menjadi sebuah fakta sains maupun agama. Akhir dari proses pencarian sains adalah kebenaran duniawi dan akhir dari proses pencarian agama adalah kebenaran rohani. Menurut Jagadis Candra Bose seorang penemu crescograph yaitu alat deteksi jaringan saraf tumbuhan (berupa alat tanpa kabel, wireless pertama mendahului penemuan Marconi), mengemukakan bahwa seorang pertapa adalah seorang penyair yang mengenal kebenaran. Sementara seorang ilmuwan, seorang saintis mencari kebenaran. (JC Bose.1946:Anand Krisna :2002).
Benang kusut pandangan sains-spiritualitas dalam perkembangan dewasa ini telah menuju pada suatu pendekatan sinergi di antara keduanya. Toudam Damodara Singh Ph.D, seorang saintis dan juga rohaniawan menyatakan dalam bukunya berjudul The Scientific Basic of Krishna Consciousneess, menyebutkan bahwa ,”Hendaknya sains dijadikan sarana untuk menjelaskan keberadaan Tuhan (Krisna) dan bukannya menjadi semakin jauh dengan prinsip kesadaran mutlak”. (T.D. Singh. 2006). Kenyataannya, dalam beberapa bidang pengetahuan, ilmu pengetahuan modern telah menemukan fakta-fakta yang sebelumnya sudah ada dalam literatur Veda ribuan tahun yang lalu. (Maswinara. 1998). Itulah sebabnya Svami Vivekananda menyatakan bahwa, “Penemuan dan penciptaan ilmu pengetahuan modern menyuarakan gema yang kecil dari keagungan raungan singa Vedanta. Demikian pula Dr. Kenneth Walker yang menyanjung kebijaksanaan Veda dan menyatakan :
“Vedanta merupakan suatu usaha untuk meringkas seluruh pengetahuan manusia dan membuat manfaat seluruh pengalaman manusia. Pada satu saat ia adalah agama, saat lainnya filsafat dan saat lainnya lagi ilmu pengetahuan”
(Kenneth Walker dalam Maswinara. 1998)

Dengan demikian, Vedanta memberikan bukti konkret bahwa spiritual dan ilmu pengetahuan terlepas dari pertentangannya merupakan tambahan dan sumbangan timbal balik dalam pencapaian tujuan bersama meningkatkan kehidupan manusia. Sebagai alat untuk mencari kebenaran sains dan agama semestinya menuju kebenaran yang sama dengan metodologi dan keterbatasan masing-masing. (Suja. 2006).
Dewasa ini ilmu pengetahuan mengakui bahwa pengetahuannya dibatasi oleh batas persepsi indra dan pengalaman, sedangkan spiritual, setelah mengambil pengetahuan materi yang tepat memperluas pandangannya jauh kedepan. Namun, kedua bidang pengetahuan ini saling berhubungan sehingga sama-sama penting bagi kesejahteraan umat manusia. Bila ilmu pengetahuan berhubungan dengan ‘peralatan’ hidup, spiritual berhubungan dengan penyangga peralatan. Bila yang pertama membantu untuk memecahkan teka-teki materi yang belakangan membantu untuk memecahkan misteri kehidupan, penciptaan dan Si Pencipta.(Maswinara. 1998). Pada akhirnya, sains tidak lagi diawali dengan “ragu” akan tetapi memulai dengan suatu keyakinan. Profesor Townes menyampaikan peranan keyakinan dalam sains dan agama sebagaimana dikutip T.D. Singh dalam buku berjudul Seven Nobellaureates on Science and Spirituality, mengemukakan sebagai berikut :
“Sains sendiri memerlukan keyakinan. Kita tidak mengetahui apakah logika kita benar. Saya tidak mengetahui Anda disana. Anda tidak mengetahui saya disini. Lihatlah, kita mungkin hanya bisa membayangkan semua ini. Saya mempunyai sebuah keyakinan tentang seperti apa dunia ini, dan demikian juga saya percaya Anda juga sama. Saya tidak dapat membuktikannya dari sudut pandang fundamental manapun....Namun saya harus menerima ruang lingkup tertentu dimana saya harus bekerja. Pemikiran bahwa agama adalah keyakinan; sains adalah pengetahuan saya kira sangat keliru. Pemikiran ini melupakan dasar sejati dari sains, yaitu keyakinan. Kita para ilmuwan percaya terhadap eksistensi dari dunia eksternal serta keabsahan dari logika kita. Kita merasa nyaman-nyaman saja dengan hal ini. Namun demikian, ini semua adalah peranan-peranan keyakinan. Kita tidak dapat membuktikannya”
(T.D. Singh. 2004)

Titik temu sains dan agama bukan saja pada realisasi kebenaran terakhir dari proses pencarian yang panjang, akan tetapi berawal dari bagaimana pencarian itu dilakukan. Upaya untuk menyingkap kebenaran ilmiah dikenal dengan nama metode ilmiah, yang dalam ajaran Hindu dikenal sebagai Catur Premana, yaitu : agama (sastra) premana (pengetahuan berdasarkan kesaksian orang lain), upamana premana (penalaran dengan perbandingan, analogi), anumana premana (penalaran logika), dan pratyaksa premana (pengamatan langsung). Kerangka berpikir dalam metode ilmiah tersebut yang selama ini diklaim oleh sains telah digunakan ribuan tahun yang lalu dalam Vedanta. Kerangka berpikir tersebut merupakan rangkaian proses logiko-hipotetiko-verifikasi, yang pada dasarnya terdiri dari tahap-tahap; perumusan masalah, penyususan kerangka berpikir (sastra premana), perumusan hipotesis (anumana premana), dan pengujian hipotesis (pratyaksa premana) untuk menarik suatu simpulan. (Suja. 2006).
Penjelasan tentang sains dalam Agama Hindu dapat ditemukan dalam uraian Kitab Suci Veda diantaranya dalam Upanisad. Upanisad merupakan kumpulan kitab yang disebut Veda Samhita, yang artinya kitab-kitab yang memuat penjelasan Veda. Upanisad dikenal pula dengan istilah Vedanta, yang berarti kesimpulan akhir dari Veda. (Titib. 1994.). Dalam menjelaskan Veda kitab-kitab Upanisad telah menggunakan sains untuk menjelaskan kebenaran-kebenaran rohani.
Chandogya Upanisad dalam menjelaskan keberadaan Brahman (Tuhan) yang berada dalam diri setiap makhluk menggunakan analogi sebagaimana garam yang larut dalam air, ia tidak nampak namun bisa dirasakan asin. Penjelasan ini disampaikan dalam bentuk dialog antara seorang ayah dengan anaknya. Dialog ini terdapat pada prapathaka ke 6, chanda 13, yang menyebutkan :
1. Lavanam etad udake ‘vadhaya, atha ma pratar upasidatha iti : sa ha tatha cakara, tam hovaca yad dosa lavanam udake ‘vadhah, anga tad ahareti, tad havam rsya na viveda yatha vilinam, evam.
2. Anganasyantad acameti katham iti; lavanam iti; madyat acamati, katham iti; lavanam iti; antad acameti, katham iti; lavanam iti; abhiprasyaitad atha mopasida tha iti; taddha tatha cakara, tac chasvat samvartate, tam hovaca atravava kila sat, saumya, na nibha layase, atraiva kila.
Artinya :
1. “Masukanlah garam ini dalam air, dan datang padaku besok pagi”. Ia mengerjakan seperti diperintahkan. Ayahnya berkata kepadanya : “Ambilkan aku garam yang engkau masukkan dalam air semalam” anak itu mencari, tidak menemukannya, karena tentunya, garam itu larut.
2. Ayahnya berkata ,”Rasakan airnya di bagian atas. Bagaimana ?” Anaknya berkata ,”Asin”. “Rasakan air di bagian bawah, bagaimana ?”. Anaknya berkata ,”Asin”. “Masukkanlah garam kembali ke dalam segelas air dan nanti datanglah kepadaku!” Anak itu mengerjakan seperti perintah ayahnya. Hasilnya selalu sama. Kemudian ayahnya berkata ,”Disini juga, dalam badan ini, tentu engkau tidak melihat yang Maha Tinggi (Sat), sayangku, tetapi Ia pasti ada”.
(Sadia. 1982. h. 140).

Svetasvatara Upanisad dalam Prapathaka I Chanda 16 juga menyebutkan analogi sains digunakan untuk menjelaskan tentang keberadaan Tuhan.
Tilesu tailam dadhiniva sarpir apas
srotassuaranisu cagnih
evam atmani grhyate’sau satyenaninam
tapasa yo’nupasyati
Artinya :
Seperti minyak yang dapat diperoleh dari biji sesam dengan jalan meremasnya, mentega dari air susu dengan jalan mengaduknya, air dari dasar sungai yang kering dengan jalan menggalinya, api dari kayu dengan jalan menggosok-gosoknya, demikian juga Diri Yang Maha Agung itu dapat dihayati keberadaan-Nya bila seseorang mencarinya dengan latihan rohani.
(Titib. 1994. h. 36)

Sama seperti ungkapan sloka Svetasvatara Upanisad, kitab Arjuna Wiwaha juga mengungkapkan analogi sains dalam menjelaskan metode pencarian personalitas tertinggi (Tuhan) dalam bentuk kekawin, seperti berikut ini :
1. Ong sembah ning anatha tinghalana de triloka sarana, wahyadhyatmika sembah i nghulun i jongta tan hana waneh, sang lwir agni sakeng tahen, kadi minyak sakeng dadhi kita, sang saksat metu yan hana wwang amuter tutur pinahayu.
2. Wyapiwayapaka sari ning parama tatwa durlabha kita, icchantang hana tan hana ganal alit lawan hala hayu, utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karana nika, sang sangkan para ning sarat sakala niskalatmaka kita.
3. Sasi wimba haneng ghata mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ring angambeki yoga kiteng sakala.
4. Katemunta mareka si tan katemu, kahidepta mareka si tan kahidep, kawenangta mareka si tan kawenang, paramarthasiwatwa nirawarana.
Artinya :
1. Aum Hyang Siwa, sembah hamba yang nista saksikanlah oleh-MU wahai penguasa tiga dunia. Dalam wujud nyata dan abstrak sembah sujud hamba-MU kehadapan duli kaki-MU tidak ada lain. Engkau bagaikan api yang keluar dari kayu dan ibarat minyak yang keluar dari santan. Kepada orang yang menekuni ajaran sucilah Engkau menampakkan diri.
2. Meresap pada semua makhluk hidup dan merupakan inti sari ajaran utama, sungguh sukar bagi seseorang untuk menemukan engkau. berkat takdir-MU, menciptakan yang tiada, yang besar dan kecil, yang baik maupun buruk. Kelahiran, kehidupan maupun kematian seseorang, Engkaulah sebagai penyebabnya. Engkau merupakan awal dan akhir dunia ini, Engkau berwujud nyata serta absrak.
3. Bagaikan bayangan bulan di dalam tempayan yang berisi air. Hanya setiap tempat yang suci tanpa noda terlihat bayangan bulan. Seakan-akan demikianlah Engkau terhadap semua manusia. Kepada orang yang sedang melaksanakan yogalah Engkau menampakkan diri.
4. Berhasil Engkau ditemukan yang belum pernah ditemukan. Diketahui Engkau yang belum pernah diketahui. Tercapailah Engkau yang belum pernah dicapai. Kebenaran Siwa tertinggi tak tersulubung.
(Warna I Wayan. 1988).

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat kita perhatikan bahwa sains telah digunakan dalam peradaban Veda dalam kurun waktu yang sangat lama. Dalam pencarian kebenaran mutlak yaitu Brahman, Veda menganalogikan seperti menemukan api dalam kayu atau menemukan minyak dalam santan. Untuk memunculkan api dalam kayu seseorang harus menggosokkan kayu sampai muncul api. Analogi yang dimaksudkan disini adalah, cara yang ditempuh untuk memunculkan api dalam kayu merupakan cara kerja sains atau fakta duniawi, akan tetapi keberadaan api di dalam kayu adalah misteri rohani. Demikian pula halnya dengan keberadaan minyak dalam santan. Proses isolasi minyak merupakan kerja ilmiah dan keberadaan minyak dalam kelapa adalah misteri rohani.

C. Pembelajaran Sains (Kimia) berwawasan Spiritual
Pemahaman akan hekikat kimia sebagai ilmu pengetahuan alam adalah bagian kecil dari penjabaran rtha (ilmu alam) dalam konsep vedic. Dalam praktik pembelajaraan dewasa ini hampir “meninggalkan” hakikat sebenarnya ilmu alam sebagai mikrokosmos yang mana substansi kesadaran kosmik terdapat di dalamnya. Jagadis Chandra Bose dengan alat teknologi temuannya yang diberi nama crescograph telah memberikan bukti ilmiah bahwa alam semesta yang menjadi kajian IPA mempunyai kesadaran emosi seperti manusia. Atas dasar ini Beliau merekomendasikan bahwa karakter manusia dapat dipelajari secara tidak langsung dengan memperhatikan dan menemukan karakter material penyusun alam. Jadi pemahaman akan hakikat kekuatan kosmik dalam setiap material telah menempatkan paradigma pembelajaran berwawasan spiritual sebagai suatu strategi yang cukup jitu.
Manusia (pembelajar) sebagai makhluk utama (“kata manusia”) mengutamakan otak sebagai alat dalam pembelajaran. Oleh karena otak juga merupakan material alamiah dengan kesadaran kosmik maka kesiapan belajarnyapun mesti disiapkan secara alamiah dan kesadaran kosmik pula. Berkenaan dengan hal ini, banyak peneliti yakin bahwa kita dapat menyerap informasi jauh lebih cepat dan efektif ketika otak berada dalam keadaan “waspada yang relaks”. (Gordon Dryden. 2000). Keadaan waspada relaks adalah suatu kondisi nyaman, tenang dan tanpa beban. Beberapa ahli filsafat Timur menyebut kondisi relaks sebagai metode awal meditasi yang dapat dilatih melalui pengembangan ketenangan mental yang diperoleh dengan latihan silent sitting (duduk hening). Atas dasar pemikiran otak sebagai agen utama dalam pembelajaran seperti penjelasan di atas , maka silent sitting (duduk hening) sebagai starter dalam pembelajaran sangat perlu untuk dilaksanakan.
Menurut Dave Meier dalam buku The Accelerated Learning Handbook mengemukakan bahwa, “Seluruh kegiatan belajar manusia dapat dikatakan mempunyai empat unsur/siklus, yaitu : 1) Persiapan (Preparation); 2) Penyampaian (Presentation); 3) Pelatihan (Practice) dan 4) Penampilan hasil (Performance). (Dave Meier. 2002).
Tahap persiapan (preparation) yaitu tahap awal/pondasi persiapan minat pembelajar untuk mengikuti proses pembelajaran. Pada tahapan ini calon pembelajar harus mempersiapkan diri dengan menghilangkan rintangan-rintangan belajar yang ada dalam dirinya, seperti perasan negatif, takut, minder dan lain sebagainya. Yang penting untuk diperhatikan oleh calon pembelajar dan pengajar, bahwa pada tahapan ini persiapan otak-pikiran sebagai agen pembelajar mutlak dilakukan. Analogi yang sering dikemukakan dalam proses pembelajaran adalah, otak pembelajar ibarat gelas wadah air, ilmu yang diberikan dianalogikan dengan air, guru dengan berbagai metode pendekatan dalam pembelajaran dianalogikan sebagai pemberi air. Dapat dikatakan dalam analogi ini, jika pembelajar tidak menyiapkan gelas (baca :otak) yang dibawa untuk menampung air, suatu misal gelas telah terisi penuh dan kacau, atau terbalik, maka betapapun hebat dan lebatnya hujan (baca : materi pelajaran) tak setitik air pun dapat ditampung oleh gelas dalam kondisi demikian. Arti dari analogi ini adalah, otak sebagai agen pembelajaran harus dipersiapkan secara matang untuk mengeliminir rintangan-rintangan belajar yang ada. Mengenai rintangan, banyak orang yang menyimpan perasaan negatif tanpa menyadarinya. Berdasarkan pengalaman masa lalu, mereka mungkin mengaitkan situasi belajar formal dengan pengurungan, kebosanan, hal-hal yang tidak relevan, rasa takut dipermalukan, dan stres. Jika rintangan ini tidak diatasi, belajar cepat dan efektif akan terhenti tepat sebelum dimulai.(Dave Meier. 2002).
Berkenaan dengan usaha mengeliminir rintangan-rintangan belajar, metode yang dapat dilakukan adalah mencipta sugesti positip dalam pikiran calon pembelajar. Salah satu metode yang telah dan sedang berkembang dewasa ini adalah “metode relaksasi”. Menurut Gordon, setiap sesi belajar yang berhasil selalu dimulai dengan relaksasi; yaitu suatu proses membersihkan pikiran sehingga dapat menerima pesan yang tidak kacau dan menyimpannya dalam file yang benar.(Gordon. 2000). Teknik relaksasi yang disarankan oleh Gordon yaitu duduk relaks dengan mengatur pernafasan. Gordon juga mengungkapkan bahwa, “Sumber listrik otak itu adalah makanan yang baik dikombinasikan dengan oksigen. Tentu saja,Anda mendapat oksigen melalui pernafasan. Inilah sebabnya bernafas dalam-dalam sangat disarankan sebelum dan selama belajar”. (Gordon. 2000). Dalam filsafat timur proses latihan pernafasan dikenal dengan istilan pranayama. Jika pranayama dilatih dalam kondisi relaksasi maka otot otak akan mendapatkan energi maksimum sebelum dan sesudah pembelajaran. Atas dasar ini, maka latihan relaksasi dengan silent sitting (duduk hening) mutlak dilakukan agar otak sebagai agen pembelajar benar-benar siap. Demikian tahap persiapan sebagai tahap/siklus awal dalam pembelajaran.
Tahap penyampaian (presentation) merupakan tahapan ke dua dalam siklus pembelajaran. Tahapan ini oleh Dave Meier disebut sebagai perjumpaan pertama dengan pengetahuan atau keterampilan baru. (Dave Meier. 2002). Sebagai perjumpaan pertama dalam pembelajaran, maka tahapan ini memegang peranan penting. Dave Meier menyarankan, “Pada tahap penyampaian kita harus memanfatkan kekuatan seluruh pikiran dan seluruh diri kita untuk belajar. Kita tahu bahwa memanfaatkan seluruh otak merupakan kunci untuk membuat belajar lebih cepat, lebih menarik dan lebih efektif. (Dave Meier. 2002).
Pelatihan (Pratice), yaitu suatu tahapan integrasi pengetahuan atau keterampilan baru yang telah dipelajari guna pengembangan aktivitas secara mandiri maupun kelompok. Pada tahapan ini pembelajar akan menggunakan pengetahuan yang diperoleh guna memecahkan suatu persoalan melalui kelompok-kelompok diskusi/kerja.
Penampilan hasil (Perfomance), yaitu suatu tahapan penerapan pengetahuan atau keterampilan pada situasi dunia nyata atau menyelesaikan problem yang ada seperti tes akhir pembelajaran dan sejenisnya.
Keempat proses pembelajaran tersebut di atas merupakan rangkaian yang tidak terpisah, akan tetapi saling melengkapi dan menguatkan. Jika dibaratkan dengan pohon, maka tahap persiapan adalah akar, tahap presentasi adalah batang dan ranting, tahap penampilan adalah daun juga bunga, dan tahap performance merupakan buahnya. Satu kesatuan “pohon belajar” ini harus ada dalam pembelajaran. Jika salah satu dari empat tahap itu tidak ada, belajar pun merosot atau terhenti sama sekali.
Tahap persiapan merupakan tahap terpenting dalam siklus pembelajaran. Pada tahap ini seorang calon pembelajar harus berani mengesampingkan segala tantangan atau rintangan belajar yang ada dalam dirinya melalui suatu latihan relaksasi atau penenangan dengan penerapan metode silent sitting (duduk hening).
Disamping keempat tahapan pembelajaran di atas yang terpenting dalam pembelajaran saisn berwawasan spiritual adalah kemampuan guru dalam memaknai (mesmerthikan) materi ajar ke dalam kajian spiritual. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini antara lain :
v Makna yang satu dalam keaneka ragaman dan keaneragaman dalam yang satu sangat mudah dimengerti siswa dalam materi pemisahan campuran seperti proses kromatografi , satu warna dapat terurai menjadi banyak warna penyusunnya. Dalam sebuah kromatogram tampak jelas bagaimana sebuah warna terurai menjadi beraneka warna. Jelas satu kesatuan tersusun dari oleh sekian banyak perbedaan. Jadi jika yang berbeda mengumpul hendaknya terwujud persatuan. Demikian pula halnya dalam suatu atom terdapat tiga partikel dengan sifat berbeda tatapi dapat menyatu dalam satu kesatuan “karakter “ atomik.
v Makna spiritual/filsafat bahwa dalam yang kecil ada kekuatan luar biasa dan dalam yang luar biasa ada partikel kecil. (Yang besar ada dalam yang kecil dan yang kecil ada dalam yang besar), dapat dijelaskan melalui struktur atom dan kekuatan dasyat yang disebabkan bom atomik dengan reaksi berantai penembakan proton dan netron. Jika dalam satu atom hidrogen dengan 1 netron tersimpan energi yang maha dasyat sehingga dalam perang dunia II Hirosima-Nagasaki hancur karenanya membuktikan bahwa dalam yang kecil tersimpan kekuatan kosmik yang teramat besar.
v Masih banyak lagi nilai-nilai spiritual yang terdapat dalam materi pelajaran IPA (kimia) termasuk dalam metode ilmiahnya seperti catur pramana, catur marga dan yang lainnya.

Referensi
Anand Krishna. 2002. Meniti Kehidupan Bersama Para Yogi, Fakir dan Mistik, Jakarta : PT Gramedia.
Daniel Goleman. 2001. Working with Enotional Intelegence, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih bahsa Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta : PT. Gramedia.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor. 20. Tentang Sistem Pendidikan Nasional . : Jakarta.
Gordon Dryden & Jeannette Vos, Dr. 2000. Revolusi Cara Belajar. (Alih bahasa Word+Translation Service). Bandung : Penerbit Kaifa.
Indra Djati Sidi. 2003. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu.
Maswinara Wayan. 1998. Ilmu Pengetahuan dan Spiritual Berdasarkan Veda. Surabaya : Paramita
Rasta-Turya Adnyani.2007. Laporan Penelitian Tindakan Kelas Penerapan Analogi Sains dalam Pembelajaran Agama Hindu untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa di Kelas XI IPa SMA Negeri 1 Kubu tahun Pelajaran 2006/2007.
Roy Budi Efferin. 2006. Sains dan Spiritualitas Dari Nalar Fisika Hingga Bahasa Para Dewa. Jakarta : One Earth Media.
Sumar Hendayana, dkk. 2007. Leson Study Pengalaman Lapangan. Bandung : IMSTEP-JICA.
Sadia. 1982. Chandogya Upanisad. Jakarta : Maya Sari.
Sri Satya Sai Trust. 1998. Ilmu Pengetahuan dan Spiritual Berdasarkan Weda. Surabaya : Paramita.
Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. 2004. Kehidupan berasal dari Kehidupan. Jakarta : Hunuman Sakti.
Sri Swami Siwananda. 1994. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita.
Suja Wayan. 2000. Titik Temu IPTEK dan Agama Hindu. Denpasar : Manik Geni.
................ 2006. Sains Veda Sinergisme Logika Barat dan Kebijakan Timur. Denpasar : Raditya.
Supriyadi. 2007. Classroom Action ReaeRCH. Bogor: Makalah Workshop.
T.D. Singh Ph.D. 2004. Seven Nobellaureates on Science and Spirituality. Kalkuta : Bhaktivedanta Institute.
T.D. Singh Ph.D. 2005. Vedanta dan Sains Kehidupan dan Asal Mula Jagat Raya.. Jakarta : Hanuman Sakti.
T.D. Singh Ph.D. 2006. The Scientific Basis of Krisnha Consciousness. Kalkuta : .
Warna I Wayan. 1988. Kekawin Arjuna Wiwaha. Denpasar : Depdikdas Provinsi Dati I Bali.

Kamis, 04 Juni 2009

Psikologi Pendidikan

PSIKOLOGI SEBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF HINDU
Oleh : Rasta
====================================
A. Pendahuluan
A.1 Latar Belakang
Pendidikan sebagaimana dirumuskan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, mempunyai tujuan :
“Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. (UU RI No. 20.2003 : 11).

Sudahkah tujuan ini tercapai ? Beberapa phenomena menunjukkan bahwa belakangan ini anak-anak kita, secara pukul rata tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan lebih sulit diatur, demikian disebutkan oleh Daniel Goleman dalam buku Working with Emotional Inteligence. (Daniel Goleman, 2001:17). Kasus yang ada di sekitar kita juga menunjukkan bukti bahwa pernyataan Goleman memang mendasar. Salah satu kasus ,”Seorang pelajar nekat bunuh diri”, sementara orang tuanya adalah Sarjana Pendidikan (S.Pd.) membuktikan bahwa pendekatan pendidikan sudah seharusnya menyentuh paradigma perubahan kejiwaan anak. (Bali Post, 14 September 2007: ).
Jadi seorang pendidik sangat penting untuk mengetahui ilmu kejiwaan. Ilmu kejiwaan jika dikaitkan dengan pendidikan, maka disebut psikologi pendidikan.
Dalam psikologi pendidikan yang menjadi sorotan utama adalah kepribadian atau personality. Berkaitan dengan personality, Prof. Dr. H. Djaali, menyebutkan bahwa : “Secara filosofis pribadi adalah aku yang sejati, dan kepribadian merupakan penampakan sang aku dalam bentuk prilaku tertentu”. (Djali, 2007 :2). Siapakah aku yang sejati itu ? Ia merupakan hakekat dari jiwa-jiwa individualis yang dilingkupi jiwa universal yang holistik. Veda menyebut konsepsi ini sebagai atman-brahman.
Beberapa abad sebelum masehi para filsof mencoba mempelajari jiwa. Ada yang berpendapat bahwa jiwa adalah ide (Plato), jiwa adalah karakter (Hipocrates), jiwa adalah fungsi mengingat (Aristoteles). (Sarwono, 1992 : 16). Sementara jutaan abad sebelumnya Veda telah merumuskan jiwa sebagai kesadaran yang agung. Keberadaan jiwa ada dalam badan dan badan dilingkupi oleh kesadaran jiwa. Atas dasar inilah maka manusia di sebut manawa. Manawa terdiri dari tiga suku kata, Ma+Na+Wa. Ma merupakan akar katan madawa yang artinya cahaya, sinar, terang, deva, yang merupakan unsur purusa, (spiritual), Na merupakan akar kata nara yang berarti manusia, jaatma, sedangkan Wa merupakan akar kata danawa yang berarti gelap, bhuta, yang merupakan unsur prakrti, (material). Jadi sesungguhnya nara (manusia) ada di antara unsur spiritual dan material. Dengan demikian untuk membuat manusia memahami kejiwaannya sehingga siap sebagai agen pembelajar, maka ia harus memahami dirinya sendiri sebagai kesatuan antara spiritual dan material. Bagaimana hal ini dapat di pahami ? Ilmu kejiwaan (psikologi) merupakan jawabannya. Karena yang terpenting dalam perkembangan kejiwaan adalah pendidikan, maka psikologi pendidikan merupakan landasan yang utama yang wajib dipahami pendidik.

A.2 Rumusan Permasalahan
Bertolak dari latar belakang di atas permasalahannya yang akan dikaji dalam makalah singkat ini adalah,
Bagaimana psikologi sebagai landasan pendidikan dalam perspektif Hindu ?
Apa saja jenis-jenis psikologi sebagai landasan pendidikan dalam perspeftif Hindu ?


B. Pembahasan

B.1 Psikologi Sebagai Landasan Pendidikan dalam Perspektif Hindu
Psikologi sering disebut ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia. Jadi “Jiwa”, merupakan hal yang terpenting dan mendasar dalam psikologi. Akan tetapi pemahaman akan jiwa dalam ilmu psikologi modern hanyalah sebatas pada perkembangan psikis. Hal ini nampak sebagaimana diungkapkan Pofesor Dr. Made Pidarta, dalam buku “Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia”.
“Jiwa itu adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani, yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia, yang berada dan melekat dalam manusia itu sendiri. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Jiwa balita baru berkembang sedikit sekali sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan sederhana sekali. Makin besar anak makin berkembang pula jiwanya, dengan melalui tahap-tahap tertentu akhirnya anak itu mencapai kedewasan baik dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani”.
(Pidarta Made, Prof.Dr. 1997: 185).

Menurut pandangan Veda hakekat jiwa adalah kebenaran mutlak. Ia ada pada masa kecil, remaja, dewasa dan tua. (Maswinara. 1997:121). Jiwa tidaklah berubah sebagaimana dituliskan dalam buku-buku psikologi, tetapi jiwa kekal adanya. Jiwa tidak dipengaruhi oleh alam semesta, akan tetapi alam semestalah yang digerakkan oleh kesadaran jiwa. Jiwa adalah purusa, alam semesta adalah prakrti. Purusa yang memasuki prakrti, memberikan kesadaran, menggerakkan dan menyebabkan prakrti tumbuh berkembang. Inilah yang disebut psikis, yaitu prakrti yang tumbuh karena kesadaran jiwa.
Purusa sesungguhnya kesadaran kosmik yang berada di dalam dan di luar prakrti. Sebagaimana air yang bisa merasuk dalam materi lain dan materi lain bisa larut dalam air, demikianlah keberadaan purusa sebagai kesadaran mutlak seluruh alam. Swetaswatara upanisad mengungkapkan tentang pencarian jiwa sebagaimana menemukan garam dalam air. Jika beberapa butir garam ditempatkan dalam setetes air ada dua kemungkinan, air melarut dalam garam atau garam melarut dalam air, tergantung yang mana lebih banyak. Jika air melarut dalam garam atau garam melarut dalam air, dapatkah kita menyatakan kalau air telah berubah menjadi asin ? AIR tetaplah pada sifatnya sebagai pelarut universal, GARAMlah yang asin. Jadi saat garam melarut dalam air atau air melarut dalam garam, kita tidak dapat mengatakan kalau sifat air telah berubah. Identik dengan itu, demikianlah keberadan jiwa dalam badan dan badan dalam kesadaran jiwa.
Dalam kajian pada individualitas manusia, maka kita dapat merenungi bahwa jiwa bukanlah psikis dan psikis bukanlah jiwa. Untuk bisa memahami ini, saya kembali kepada uraian pengantar di muka tentang hakekat manusia dalam peradaban vedik yang disebut manawa, yaitu suatu pandangan hakiki tentang manusia sebagai makhluk utama yang terbentuk dari kontribusi terang-gelap (Madava-dan Danawa).
Jiwa manusia adalah unsur deva (madava), dan tubuh manusia adalah unsur bhuta (danawa). Unsur deva dan bhuta berpadu membentuk kesadaran (psikis). Ada empat tingkatan kesadaran dalam veda, jagra, turu, susupti, dan turya.
Jagra adalah kesadaran badan saat kita menyadari bahwa phisik ini bergerak, Turu adalah kesadaran saat kita tidur dengan mimpi, Susupti adalah kesadaran tidur tanpa mimpi, dan Turya adalah kesadaran akan keberadaan Sang Diri yang menyatu dengan kesadaran kosmik.
Jadi, pandangan spiritualitas Veda, menekankan bahwa hakekat jiwa tidaklah sebagaimana yang dituliskan dalam buku-buku psikologi model Barat. Jiwa berkembang dan dipengaruhi alam sekitar, ini adalah pemahaman phsikis, bukan jiwa. Jiwa tidaklah sama dengan phsikis. Akan tetapi konsepsi psikologi Barat menempatkan jiwa sama dengan phsikis, dan phsikis identik dengan pikiran, pikiran dianggapnya otak, sehingga teori-teori pembelajaran berkembang menyasar perkembangan otak. Sementara veda menyebut otak sebagai alat jiwa, yang tiada lain adalah badan halus, jnana maya kosa. Di bawahnya ada ana dan prana maya kosa, dan di atasnya ada wijana dan ananda maya kosa. Kelima badan ini dalam istilah veda disebut panca maya kosa, yang merupakan lapisan-lapisan badan yang terbentuk dari unsur bhuta (Danawa). Dan dalam setiap kosa dilingkupi oleh kesadaran jiwa yang merupakan unsur Deva (Madava). atas dasar inilah maka manusia dalam konsep Vedanta disebut sebagai Manawa, yaitu unsur material (bhuta) yang dilingkupi kesadaran jiwa (Dewa).
Walaupun teori-teori psikologi belum dapat mengungkapkan landasan utama yang disebut “jiwa”, namun demikian, perkembangan teori-teori psikologi telah dan akan menuju pemahaman Vedik. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dan pengakuan bahwa yang memegang peranan penting dalam pembelajaran bukanlah IQ semata akan tetapi ada EQ dan SQ.
Dalam ilmu psikologi pendidikan, yang terpenting adalah pemahaman jiwa sebagai pondasi dalam pembelajaran. Disadari atau tidak proses akhir dari pembelajaran 99,9 % ditentukan oleh motivasi internal pembelajar. (Walaupun belum ada penelitian pasti untuk ini).
Paradigma pembelajaran saat ini telah bergeser dari guru pemberi ilmu menjadi guru pengolah ilmu. Pada paradigma guru pemberi ilmu, dianggap pembelajar sebagai gelas kosong yang siap diisi atau dipolakan sesuai kehendak guru, sementara dalam paradigma guru pengolah ilmu memandang bahwa pembelajar ibarat gelas yang telah berisi. Jadi pada paradigma yang kedua sejalan dengan teori konstruksitivisme.
Teori konstruktivisme menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan (kontruksi) orang itu sendiri. (Suparno, 2001). Artinya, pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru kepada siswa. Seseorang dapat dikatakan memiliki pengetahuan jika orang tersebut berusaha untuk aktif mencerna pengetahuan sendiri. Bagaimana seseorang dapat mencerna pengetahuan jika ia tidak memahami jiwanya ?, Bagaimana seseorang dapat memahami jiwanya jika ia tidak mengetahui hakekat keberadan jiwa dalam badannya? Jadi landasan utama psikologi pendidikan adalah pemahaman akan keberadaan jiwa-jiwa individualis pada setiap insan, pendidik maupun anak didik.
Manusia tak mungkin hidup tanpa jiwa, karena jiwa adalah kesadaran badan. akan tetapi orang tidak mungkin memahami jiwa tanpa memahami wadah jiwa, yaitu badan. Perbaduan jiwa-badan yang disebut psikis adalah landasan utama psikologi pendidikan. atas dasar ini ini, manusia sudah semestinya memahami jiwa, maka kehadiran “ilmu jiwa” menjadi sangat penting.
Demikianlah pentingnya psikologi pendidikan sebagai landasan dalam pelaksanaan pendidikan.

B.2 Jenis-Jenis Psikologi Sebagai Landasan Pendidikan dalam Perspeftif Hindu
Sebagai landasan pendidikan psikologi dalam perspektif Hindu dibedakan atas:
1) psikologi perkembangan, 2) psikologi belajar, 3) psikologi sosial.

B.2.1 Psikologi Perkembangan
Berdasarkan pendekatan tahapan ada beberapa teori perkembangan anak, antara lain :
Perkembanagan manusia secara umum, menurut Crijns,
v Umur 0-2 tahun, masa bayi, sebagian besar waktu untuk tidur
v Umur 2 - 4 tahun, masa kanak-kanak, mulai belajar berjalan, berkata, dan permainan-permaianan bersifat fanatasi.
v Umur 5 - 8 tahun, disebut masa dongeng, anak menukai cerita-cerita/ dongeng
v Umur 9 -13 tahun disebut masa Robinson Crusoe, mulai berkembang pemikiran kritis, nafsu persaingan, minat-minat dan bakat.
v Umur 13 tahun, mulai belajar merias diri
v Umur 14 -18 tahun. masa puber/peralihan
v Umur 19 -21 tahun disebut masa adolesen. Suatu masa mencari jati diri atau keseimbangan.
v Umur 21 tahun ke atas disebut masa dewasa.

Berbeda dengan teori perkembangan Barat yang menekankan aspek pisik, psikologi perkembangan dalam perspefktif Hindu lebih menekankan pada aspek perkembangan watak dan pengaruh lingkungan. Atas dasar ini pada setiap tahap perkembangan mental anak mulai dari dalam kandungan selalu diikuti ritual yang bertujuan menyeimbangkan dan mengarahkan anak kepada karakter baik. Beberapa tahap perkembangan anak menurut Veda adalah :
v Tahap angarbini, usia kehamilan 3 bulan, pada tahapan ini seorang anak sudah mulai menunjukkan keinginan melalui ibunya, yang dikenal sebagai kondisi ngidam. Setiap ibu yang hamil, mempunyai permintaan atau kesukaan yang berbeda-beda. Terpenuhi atau tidak keinginan pada saat angarbini ini akan mempengaruhi karakter anak yang akan dilahirkan. Contoh : seorang ibu yang menginginkan rujak pedas, minuman jahe, dan lain-lain makanan-minuman atau zat aromatic lainnya, maka karakter anak yang dikandungnya adalah keras (rajasik).
v Tahap jatakarma atau magedong-gedongan, disebut juga tutug sasihan , antara umur kandungan 9-10 bulan. Pada saat ini dilakukan upacara penbersihan atau penglukatan dengan tujuan agar karakter anak yang lahir baik.
v Tahap kepus udel, usia bayi 7-11 hari
v Tahap nama karma, usia bayi 12 hari. Pada saat ini bayi mulai diberi nama panggilan. Tahapan ini sangat menentukan karakter anak selanjutnya, oleh karena nama adalah suara yang akan terus menjadi identitasnya. Dan setiap nada yang terdengar dari nama panggilan akan mengetarkan atau memberi vibrasi kesadarn psikis anak. Dalam konsepsi Veda, suara adalah nada Brahman. Setiap huruf yang dilekankan pada bentuk dan rupa akan mempengaruhi karakter.
v Tahap tutuh akambuh, usia anak 42 hari.
v Tahap tigang sasih atau telubulanan, usia anak 105 hari. Pada tahapan ini disebut pula tahap riskrama samskara, yaitu tahapan saat anak mulai diperkenalkan dengan kemewahan duniawi (harta benda seperti emas, intan, dll)
v Tahap aweton, umur 210 hari atau 6 bulan, pada saat ini anak mulai boleh menginkaj tanah, atau berhubungan langsung denga bumi.
v Tahap aguron-guron, pada saat anak sudah tanggal gigi untuk pertama kali, maka si anak sudah mulai memasuki suatu tahapan kehidupan yang disebut brahmacarii (masa menuntut ilmu). Pada tahapan ini anak sudah mulai berpikir kritis, dapat membedakan baik-buruk, dan sudah mampu memilih.
v Tahapan berikutnya adalah tahapan dimulainya catur asrama, yaitu empat tahapan hidup, meliputi masa menuntut ilmu (brahmacari), tahap berumah tangga (grhasta), tahap melatih ketidak terikatan (sanyasin), dan tahap bhiksuka. (Sumber: Kanda Pat Rare)

B.2.2 Psikologi Belajar
Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomonikasikannya kepada orang lain. (Prof. Dr. Made Pidarta. 1997:197).
Untuk memahami kompleksitas proses belajar, berbagai gagasan pemikiran telah diformulasikan dalam suatu teori yang dikenal dengan teori belajar.

Teori-teori belajar Barat
Secara garis besar teori belajar dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
(a) Teori behaviorisme, teori ini menekankan pada perubahan tingkah laku yang didasarkan pada stimulus-respon.
(b) Teori Kognitifisme, teori ini menekankan pemahaman konsep (concept attainment) hingga pada suatu simpulan (discovery learning).
(c) Teori belajar sosial, teori ini menekankan bahwa pembelajaran tidak hanya dapat dilakukan secara mandiri (individual) akan tetapi ada control sosial. Teori ini menekankan interaksi antar manusia.
Penekanan pembelajaran selama ini adalah pada lapisan badan yang disebut pikiran. Beberapa teori pikiran atau otak yang dianggap sebagai agen pembelajaran dapat diuraiakan dari teori otak dua sisi, otak triune, sampai otak holistik.
Teori-teori belajar behaviorisme berlandasakan pada teori otak dua sisi, sehingga sistem ini oleh Bab Samples disebut sebagai pendekatan sistem tertutup. Bagi para pemikir sistem tertutup control merupakan perhatian utama. Pada sistem ini proses pembelajaran diberlakukan seperti paku-palu. Tiga teori belajar yang dikemukan di atas adalah bagian dari sistem ini.
Sejalan dengan perkembangan teori otak, maka muncullah teori belajar holonomi. Teori ini menekankan sistem pembelajaran sebagai suatu sistem terbuka, model ini oleh Bob Samples disebut sebagai model holonomi. Otak-pikiran adalah sistem terbuka, dalam perspektim semacam itu dan dengan demikian, ia terbuka untuk menerima masukan dan pengalaman, baik dari luar maupun dari dalam. (Bab Samples. 2002:109).
Diantara organ tubuh, otak adalah organ yang mampu memerintah dan sekaligus memberi perintah pada dirinya sendiri. Untuk dapat memahami kerja otak sebagai agen pembelajaran kita dapat memperhatikan berbagai pandangan tentang otak manusia.
“Jika Anda ingin mengembangkan anak-anak, mulailah dari otaknya, mereka tentu saja tak membaca dengan ginjalnya”, demikian ungkap Deborah Waber ahli pembelajaran dari Universitas Harvard yang dikutip Gordon Dryden dalam buku The Learning Revolution. (Gordon. 2000). Pernyataan ini mengingatkan kita akan betapa pentingnya otak sebagai agen pembelajaran.
Banyak peneliti yang kini yakin bahwa kita dapat menyerap informasi jauh lebih cepat dan efektif ketika otak berada dalam keadaan “waspada yang relaks”. (Gordon Dryden. 2000). Keadaan waspada relaks adalah suatu kondisi nyaman, tenang dan tanpa beban. Veda menyebut kondisi relaks sebagai metode awal meditasi yang dapat dilatih melalui pengembangan ketenangan mental yang diperoleh dengan latihan silent sitting (duduk hening).
Sementara dalam perspektif Hindu khususnya filsafat Nyaya pembelajaran dianggap sebagai suatu proses pencarian hakekat diri yaitu Sang Jiwa melalui empat pendekatan yang disebut catur pramana. , yaitu sabda, upamana, anumana dan pratyaksa. (Musna.1986:4). Dari keempat cara ini upamana merupakan teori belajar yang sering diadopsi para pemikir-pemikir open mind, dengan menganalogikakan sesuatu yang terasa sulit dinalar dengan obyek-obyek duniawi. Dalam filsafat vedanta teori belajar disebut sebagai Teori Vedanta yaitu tentang persepsi bahwa pikiran keluar melalui mata dan indra lainnya dan mengambil wujud dari obyek yang ada di luar. Dalam teori ini, sinar pikiran dikatakan pergi keluar mengambil wujud dan bentuk serta meliputinya. setelah itu barulah terjadi persepsi. Persepsi terhadap sebuah benda hanya akan mungkin terjadi jika pikiran telah mengambil wujud benda tersebut secara utuh. Jadi dalam teori belajar ini bentukan atau konstruksi pengetahuan bukan ada pada benda luar akan tetapi ada dalam bentukan pikiran si pembelajar. (Sri Svami Sivananda. 2003:86). Sintaks pembelajaran dalam konsepsi vedata dikenal dengan istilah upanisad (duduk dekat guru) yang artinya sama dengan asessment (sit behind). Arti dari teori ini bahwa seorang pembelajar akan mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal jika dibimbing secara optimal oleh guru mereka.

B.2.3 Psikologi Sosial
Psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajarai pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu. (Hollander. dalam Pidarta Made.1997:208). Dalam psikologi sosial dipandang manusia bukan saja sebagai makhluk individual akan tetapi juga makhluk sosial yang harus beriteraksi dengan manusia lainnya. Dalam pola interaksi ini akan mengkasilkan suatu karakter bersama (kelompok) yang menjadi ciri khas dari kelompoknya. Atas dasar ini Vivekadanda pernah menyebutkan, “ sebutkan siapa temanmu, aku tahu siapa dirimu”, arti dari kata-kata Vivekananda adalah jika sesorang menyebutkan temannya paling tidak ia akan memeiliki kemiripan sifat/karakter dengan temannya, inilah psikologi sosial dalam perspektif Hindu. Demikian pula Ramanuja pernah menuliskan, sebut dari mana asalmu maka aku tahu bagaimana karaktermu.
Demikianlah psikologi sosial sangat berpengaruh pada karakter diri seseorang. Atas dasar ini maka seorang pendidik, mau tidak mau suka tidak suka seharusnya memahami psikologi sosial sebagai landasan psikologi pendidikan.

C. Simpulan
v Landasan utama psikologi pendidikan adalah aspek individual manusia yaitu “jiwa-jasmani”.
v Pemahaman akan aspek jiwa memunculkan ilmu kejiwaan yang disebut psikologi, dalam perspektif Hindu jiwa dinyatakan sebagai suatu keberadaan yang mutlak bagi kehidupan manusia. Pentingnya psikologi sebagai landasan pendidikan dalam perspektif Hindu disebabkan oleh suatu alasan bahwa manusia yang disebut manava merupakan gabungan unsur jiwa (deva) yang disebut madava dan unsur material yang disebut danava.
v Jenis-jenis psikologi pendidikan dalam perspektif Hindu meliputi :
psikologi perkembangan, psikologi belajar dan psikologi sosial..


D. Daftar Pustaka

Bob Samples. 2002. Revolusi Belajar untuk Anak. (Alih bahasa Rahmani Astuti). Bandung : Penerbit Kaifa.
Bobbi DePorter.2002. Quantum Teaching. (Alih Bahasa Ary Nilandari). Bandung : Penerbit Kaifa.
Bobbi DePorter. 2002. Quantum Learning. (Alih bahasaAlwiyah Abdurahman). Bandung : Penerbit Kaifa.
Brooks, J.G. & Brooks, M.G. 1993. In Search of Under Standing the Case for Contructivist Classrooms. Virginia : Association for supervision an curriculum development.
Dave Meier. 2000. The Accelerated Learning Handbook. New York : McGraw-Hill.
Daniel Goleman. 2001. Working with Enotional Intelence, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih bahsa Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta : PT. Gramedia.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor. 20. Tentang Sistem Pendidikan Nasional . : Jakarta.
Djaali Prof.Dr. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Donder. 2006. Sisya Sista : Pedoman Menjadi Siswa Mulia. Surabaya : Paramita.
Gordon Dryden & Jeannette Vos, Dr. 2000. Revolusi Cara Belajar. (Alih bahasa Word+Translation Service). Bandung : Peneribit Kaifa.
Maswinara I Wayan. 1997. Bhagawadgita. Surabaya:Paramita.
Pidarta Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Sarwono Sarlito Wirawan. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo.
Titib. 1994. Untaian Ratna Sari Upanisad. Denpasar : Yayasan Dharma Narada.

Teori Belajar

TEORI BELAJAR DALAM KONSEPSI HINDU dan KONTRUKTIVISME MODERN

Oleh : Made Rasta

Teori Analogi Filsafat Nyaya
Rsi Gotama, sebagai tokoh yang menulis filsafat Nyaya mengemukakan bahwa ada empat cara dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu sabda, upamana, anumana dan pratyaksa. (Musna.1986:4). Dari keempat cara ini upamana merupakan teori belajar yang sering diadopsi para pemikir-pemikir open mind, dengan menganalogikakan sesuatu yang terasa sulit dinalar dengan obyek-obyek duniawi. Sebagai contoh, analogi pencarian Atman sebagaimana diungkapkan dalam Svetasvatara Upanisad dalam Prapathaka I Chanda 16
Tilesu tailam dadhiniva sarpir apas
srotassuaranisu cagnih
evam atmani grhyate’sau satyenaninam
tapasa yo’nupasyati
Artinya :
Seperti minyak yang dapat diperoleh dari biji sesam dengan jalan meremasnya, mentega dari air susu dengan jalan mengaduknya, air dari dasar sungai yang kering dengan jalan menggalinya, api dari kayu dengan jalan menggosok-gosoknya, demikian juga Diri Yang Maha Agung itu dapat dihayati keberadaan-Nya bila seseorang mencarinya dengan latihan rohani.
(Titib. 1994. h. 36)

Inti dari Teori Analogi adalah seseorang akan belajar dari apa yang dipikirkannya tentang yang abstrak menggunakan sesuatu yang tidak abstrak . Jadi dasar pemikiran teori analogi dalam filsafat Nyaya adalah memahami sesuatu yang abstrak dengan analogi sesuatu yang realistik. Sebagai contoh dapat kita perhatikan bagaimana Gede Prama bertutur tentang lidah daging, lidah cahaya dalam buku Jalan-Jalan Penuh Keindahan.
“Lidah daging memang terlihat jelas oleh mata. Lidah cahaya dilihat oleh mata yang lain...dalam perjalanan menemukan lidah cahaya, hanya komunikasi ke dalam yang mengantar kesana. Berbeda dengan lidah daging yang amat boros suara dan kata-kata, perjalanan menemukan lidah cahaya amat irit suara dan kata-kata. Bahkan ada yang berani mengatakan tidak butuh suara dan kata-kata”.
(Gede Prama. 2004:180-182)

Teori Metaforma Todd Siler
Dalam Teori modern, teori analogi diperkenalkan sebagai teori metaforma yang digagas oleh Todd Siller, dalam teori ini pengetahuan dibangun melalui penciptaan makna dengan membuat koneksi, terlebih dahulu kemudian akan menyusul temuan-ciptaan-terapan.
Dalam pandangan teori metaforma pada hakekatnya semua manusia jenius, oleh sebab itu dalam belajar ia harus memunculkan kejeniusanya sendiri. Todd Siler mengatakan :
“Anda dapat belajar memanfaatkan kejeniusan milik sendiri, memanggil daya kreativitas kapan saja Anda mau. Anda dapat belajar berpikir jenius melalui proses yang saya sebut bermetaforma” (Todd Siler. 1997:24)

Proses metaforma dimulai dengan koneksi, yaitu menyambung dua hal atau lebih. Koneksi kadang mengarahkan menuju pemahaman, yaitu saat kita mengalami pemahaman intuitif. Untuk menghasilkan koneksi, dalam bermetaforma kita menggunakan berbagai bentuk perbandingan dan usaha: metafora, analogi, ungkapan, cerita, fable, lambang, permainan kata, dan hipotesis. Salah satu atau semua cara ini dapat dimanfaatkan untuk membuat koneksi, yang selanjutnya pikiran intuitif akan membawa Anda pada tingkat berikutnya temuan dan usaha akan menghasilkan ciptan dan terapan. Sebagai contoh, Leonardo da Vinci mengamati kemiripan anatara cabang-cabang pohon dan bentuk kanal. Diungkapkannya koneksi mengarah ke pemahaman “kanal mirip cabang pohon”. Lenardo meneliti koneksi ini dengan membuat struktur luar dan dalam cabang pohon. Ia bersifat terbuka untuk mengalami berbagai kemungkinan yang ada di alam, akibat keterbukaan ini ia menemukan informasi baru tentang cara pohon mengatur aliran zat gizi dan air. Akhirnya gambar yang dibuatnya telah membantu pemahamannya tentang aliran air dalam sistem kanal. Selanjutnya usaha telah membawa Leonardo pada suatu ciptaan alat sistem transportasi terusan air yang unik, dan terapan selanjunya oleh Leonardo memunculkan kreativitas mesin penggiling bertenaga angin dan air, yang berlanjut pada temuan-temuan seputar roda gigi dan pengungkit untuk memudahkan menjalankan penggilan. (Todd Siler.1997:40-43)

Teori Persepsi Vedanta
Teori Vedanta tentang persepsi adalah bahwa pikiran keluar melalui mata dan indra lainnya dan mengambil wujud dari obyek yang ada di luar. Dalam teori ini, sinar pikiran dikatakan pergi keluar mengambil wujud dan bentuk serta meliputinya. setelah itu barulah terjadi persepsi. Persepsi terhadap sebuah benda hanya akan mungkin terjadi jika pikiran telah mengambil wujud benda tersebut secara utuh. Jadi dalam teori belajar ini bentukan atau konstruksi pengetahuan bukan ada pada benda luar akan tetapi ada dalam bentukan pikiran si pembelajar. (Sri Svami Sivananda. 2003:86)
Dasar pemikiran dari teori persepsi vedanta adalah pernyataan beberapa sloka upanisad, seperti berikut :
“Ketika seseorang berpikir, maka ia akan mengerti; tanpa memiliki pikiran maka seseorang tidah akan tahu; hanya setelah memiliki pikiran seseorang akan memahami”
(Candogya Upanisad. dalam Svami Sivananda.2003:82

“Aku kehilangan ingatan (tidak berpikir); maka aku tidak mendengar. Aku kehilangan ingatan (tidak berpikiran), maka aku tidak tidak melihat. Maka nyatalah bahwa seseorang melihat dengan pikiran, mendengar dengan pikiran. Keinginan, determinasi, ketidakyakinan, keteguhan, kegoyahan, rasa malu, intelek, semua terjadi hanya terjadi dalam pikiran. Oleh karena itulah, ketika disentuh dari belakang, seseorang bisa mengetahuinya dengan pikiran”
(Bbrihadranyaka Upanisad, dalam Sri Svami Sivananda. 2002:82)

Menurut filsafat samhkya, dasar yang sebenarnya dari persepsi adalah mata hanyalah daging yang merupakan intrumens ekternal (karana) bagi persepsi. Organ penglihatan adalah adalah sebuah pusat yang ada di otak; demikian juga dengan semua organ indera yang lainnya. Dari analisa persepsi inilah muncul pengetahuan, pikiran menuju budhi, yang kemudian diteruskan menjadi perubahan tingkah laku sesuai konsepsi belajar seseorang.

Teori Konstruktivisme Von Glaserfeld
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von Glaserfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas), pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuannya yang diperlukannya sendiri. (Paul Suparno. 1996:18)
Realitas kebenaran dari sutu pengetahuan yang diperoleh pembelajar merupakan hasil konstruksinya sendiri, pengetahuan luar hanyalah respos yang memberi rangsang untuk pengembangan pengetahuan yang telah ada dalam dirinya.
Secara sederhana, konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi dari kita. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif (tidak hanya menerima dari guru dan lainnya), siswa harus mencoba melalui metode trial and error, dengan demikian akjan terakumulasi pengetahuan yang benar.

Teori Realistik dari Filsafat Jaina
Teori belajar menurut filasafat jaina, bahwa seseorang memperoleh pengetahuan dengan cara langsung (aparoksa) dan tak langsung (paroksa). Pengetahuan yang diperoleh secara langsung melalui pengamatan indria adalah pengetahuan relatif. Pemahaman obyek-obyek melalui indera-indera atau pikiran (manas) secara langsung adalah pemahaman maya. (Maswinara I Wayan. 1999:44). Pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diperoleh secara tidak langsung melalui analis internal. Jadi konsepsi belajar dalam filsafat Jaina adalah pembelajar dengan idria (keluar) dan pembelajaran dengan perenungan (ke dalam). Segala yang ada di luar diri kita sesungguhnya telah ada dalam diri kita, inilah dasar pembelajaran filsafat ini.

Refensens

Prama I Gede. 2004. Jalan-Jalan Penuh Keindahan. Jakarta : PT Gramedia.

Paul Suparno. 1996. Filsafat Konstruktivisme Pendidikan. Yogyakarta : MST

Sri Svami Sivananda. 2003.Pikiran Misteri dan Penaklukannya. Paramita : Surabaya

Todd Siler. 1997. Thik Like a Genius. Kaifa : Bandung