KONSEP KARMA PHALA PADA DOLANAN “GOAK MALING TALUH”
Oleh : Rasta & Kadek Turya Adnyani
Manusia hendaknya menyelidiki dengan seksama prinsip yang berlaku dalam suatu hal atau peristiwa…Segala sesuatu dan diri diatur oleh prinsip yang sama. Jika engkau dapat memahami salah satunya, maka engkau akan dapat memahami yang lainnya, sebab kebenaran yang ada di dalam dan di luar itu adalah sama”, (Cheng Yishu, Abad ke-11).
Om Swastyastu,
Kenangan manis masa kecil tak terlupakan, manakala bermain bersama dengan nyanyian Goak Maling Taluh. Nyanyian anak-anak yang kini dikenal dengan istilah dolanan nyaris tidak terdengar lagi.
Syair goak maling taluh terdengar sederhana dengan irama atau ritme yang mudah, dan sang pengarang pun sampai saat ini masih anonim Dibalik kesederhanaan syairnya tersirat dan tersurat makna filsosofis yang mendalam tentang hakekat Karma Phala. Kata-kata Cheng Yishu, dalam konteks ini terbukti benar, bahwa ada kebenaran dalan sesuatu apabila kita menyelidiki dengan seksama.
Bagaimanakah syair dan makna lagu dolanan goak maling taluh ?
Mari disimak uraian berikut………………….!
Syair lagu dolanan goak maling taluh yang mengiringi permainan megala-galaan anak-anak Bali tempoe doloe masih terngiang seperti berikut.
“Goak maling taluh gentang renteng kayu lengkong;
Nyen uli bedauh natad meng ngadut meong”
Kata goak berarti burung gagak yang berwarna hitam dengan bunyi goak-goak. Jadi pemberian nama goak sesuai suara dari burung dimaksud. Di Bali di kenal dua jenis goak, yaitu goak bunga yang bentuk dan ukuran tubuhnya kecil dengan suara yang kecil nyaring, dan goak bangke dengan suara besar galau dan menyeramkan. Burung goak adalah jenis burung yang tergolong carnipora, yaitu pemangsa binatang lain seperti ular, tikus, anak ayam, itik dan burung-burung kecil lainnya. Burung goak di Bali merupakan burung yang menjadi tetengger atau ciri-ciri hal-hal buruk akan terjadi pada suatu wilayah seperti terjangkitnya penyakit, kematian dan lain sebagainya.
Kata goak pada dolanan goak maling taluh mempunyai makna seseorang yang dalam hidupnya selalu berbuat tidak baik. Satu dari perbuatan burung goak tersebut dalam dolanan di atas dikatakan maling taluh yang secara bebas diartikan mencuri telur. Kata maling jelas merujuk pada suatu perbuatan hina yang dilarang dalam ajaran agama Hindu. Sementara kata taluh yang berarti telur dapat dimaknai sebagai benih kehidupan yang disebut brahmananda. Telur kehidupan inilah yang akan dicuri oleh burung gagak sesuai makna dolanan di atas. Perbuatan mencuri benih kehidupan dikatakan sebagai perbuatan hina yang dijelaskan dalam kata-kata simbolik getang renteng. Kata gedang yang berarti papaya, jika dipadukan dengan kata renteng berarti papaya yang hanya berbunga berantai-rantai dan tidak pernah menjadi buah. Gedang renteng di Bali diyakini sebagai tempat atau sarana ilmu hitam atau majik. Jadi kegiatan atau perbuatan mencuri merupakan kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu aturan agama atau orang-orang yang menjalankan ilmu hitam.
Penegasan bahwa perilaku menyimpang atau melanggar dharma sebagaimana diceritakan dalam dolanan goak maling taluh merupakan perbuatan yang menyesatkan. Perbuatan ini dianalogikakan seperti kayu lengkong yang secara bebas diterjemahkan sebagai kayu bengkok. Kayu dalam makna kias berarti kayun atau keinginan pikiran, sedangkan kata bengkok berarti tidak lurus atau tidak sesuai dengan kaidah - kaidah kebenaran. Dengan demikian kayu lengkong bermakna pikiran seseorang yang menyimpang dan tidak sesuai dengan petunjuk ajaran agama.
Secara satu kesatuan kalimat goak maling taluh gedang renteng kayu lengkong mengandung cerita atau analogi perbuatan seseorang yang tidak baik bagaikan burung gagak mencuri telur kehidupan sebagaimana perilaku para penekun ilmu hitam yang pikirannya bengkon dan tidak mungkin diluruskan. Namun demikian, pada bait kedua ditekankan bahwa apapun yang dilakukan seseorang di dunia ini harus dipertanggungjawabkan pada saat dia pulang ke alam sunya. Penekanan ini tersirat pada kalimat nyen uli bedauh natad meng ngadut meong. Secara bebas kalimat tersebut dapat diterjemahkan “ Siapa yang datang dari Barat membawa atau menarik (natad) kucing dan membunting (ngadut ) meong.
Datang dari Barat berarti pula berjalan menuju Timur. Arah Timur dalam konteks ajaran Hindu adalah arah suci sebagai tempat terbitnya matahari yang disebut pula sunya loka. Arah sunya loka merupakan simbolisasi arah yang dituju oleh ‘roh’ setelah kematian tiba. Jika seseorang berjalan menuju Timur pada posisi matahari masih di Timur maka ia akan diikuti oleh bayangannya. Bayangan dapat dianalogikakan sebagai hasil perbuatan. Dengan demikian seseorang yang datang dari Barat diartikan sebagai ‘roh’ yang berjalan menuju sunya loka setelah ajal tiba. Kedatangan seseorang ke sunya loka pada akhir hayatnya diikuti oleh hasil perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya. Jika dia berbuat tidak baik sebagaimana disimbolisasi dengan membawa kucing (natad dan ngadut meng atau meong) maka segala bentuk perbuatan tidak baiknya akan terus mengikuti perjalanan sang roh. Hal ini juga berarti bahwa seseorang pada akhirnya tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan karma phala.
Baik buruk perbuatan seseorang sebagaimana digambarkan pada lagu dolanan goak maling taluh pada akhirnya akan mengikuti perjalanan akhir ‘Sang Roh” menuju sunya loka atau alam ‘akhirat’. Gambaran tentang akibat dari perbuatan atau karma phala tersebut di sampaikan secara sederhana dalam lagu atau dolanan melalui suatu permainan megala-galaan. Jika kita kaitkan dengan permainan ini dan disimak dari arti kata gala yang berarti rintangan, maka permainan megala-galaan yang berarti memberikan rintangan kepada seseorang untuk mencari rumahnya. Permainan ini dengan lagu yang dinyanyikan jelas menyiratkan tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah menuju pulang ke rumah. Rumah abadi seluruh makhluk adalah Tuhan. Makhluk hidup berasal dari Tuhan dan pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan. Konsep ini dalam ajaran Hindu di sebut moksa. Dengan demikian, permainan megala-galaan dengan lagu dolanan goak maling taluh secara implisit mengajarkan dua bagian penting dari Panca Sradha yaitu Karma phala dan Moksa.
Permainan megala-galaan adalah suatu bentuk permainan beregu yang terdiri dari dua regu. Setiap regu terdiri dari tiga orang. Dengan opipa atau syut regu yang dinyatakan menang dapat memulai permainan menjadi gerup pencari rumah. Dalam perjalanan mencari rumah (biasanya ada tiga kotak yang dianggap rumah) dihalangi oleh regu lawan yang menjaga garis setiap wilayah rumah. Jika ada yang tersentuh tangan penjaga garis maka orang yang ada dalam kotak permainan (rumah) dinyatakan mati dan keluar dari arena. Apabila ke tiga orang dari regu tersebut dapat dijangkau tangan dari garis kotak oleh penjaga garis dari regu lain maka regu yang ada dalam kotak giliran menjadi penjaga garis dan regu yang tadinya menjaga garis memulai permainan. Apabila regu yang mencari rumah bisa melewati penjaga garis dengan mulus dan sampai pada rumah berikutnya maka akan mendapat nilai. Regu siapa yang mendapat nilai terbanyak sampai akhir permainan maka akan keluar sebagai pemenang. Hal yang menyenangkan bahwa dalam setiap sesi permainan selalu diikuti lagu atau dolanan goak maling taluh.
Dalam menyanyikan dolanan goak maling taluh biasanya dilakukan bergilir dari regu penjaga garis sampai regu yang ada dalam kotak permainan.
Permainan megala-galaan dengan nyanyian goak maling taluh merupakan iplementasi konsep pembelajaran menyenangkan, melajah sambil mapelalian, dan mapelalian sambil melajah, yaitu suatu konsep pendidikan tradisonal Bali yang menekankan aspek belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar.
Demikianlah makna filofosis lagu dolanan goak maling taluh dari sudut kajian filsafat pendidikan Hindu.
Om Santih, Santih, Santih Om.
Semoga bermakna…..!
Daftar Pustaka
Anadas Ra. 2004. Hukum Karma. Surabaya : Paramita.
Jayaram.. 2000. Memaknai Lagu Dolanan. Singaraja: Presspri.
Jendra Wayan. Karmaphala. Denpasar : Dewa Printing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar