Jumat, 14 Agustus 2009

BANTEN


MAKNA DAN FUNGSI BUAH DALAM UPACARA YAJÑA
Oleh : Rasta & Turya Adnyani

patram puspam phalam toyam yo me bhaktyã prayacchati, tad aham bhaktyaupahrtam asnãmi prayatãtmanah” (Bhagawadgita.IX.26).

A. Pendahuluan

Ada empat inti sari persembahan sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawadgita sloka. IX.26, yaitu ; 1) patram (sehelai daun), 2) puspam (setangkai bunga), 3) phalam (sebiji buah-buahan), dan 4) toyam (seteguk air). Dari ke empat inti persembahan yang menjadi pondasi utama sebuah banten kesemuanya mempunyai makna simbolik. Menurut Wiana (2001:5), banten bukanlah makanan untuk disuguhkan pada Hyang Widhi. Banten merupakan bahasa simbolik yang sangat sakral menurut pandangan Hindu. Sebagai bahasa simbol banten merupakan media untuk menyampaikan sradha dan bhakti pada ke-Mahakuasaan Hyang Widhi. Banten juga merupakan bentuk budaya sakral keagamaan yang didalamnya terdapat nilai-nilai universal. Dengan demikian, setiap unsur dalam suatu persembahan mengandung makna simbolik yang bersifat religius. Namun demikian, phenomena yang terjadi, banyak umat Hindu yang tidak mengetahui makna dan fungsi sarana upacara termasuk banten yang digunakan sebagai persembahan. Pemikiran orang awam tentu bertolak belakang dengan pendapat Wiana, bahwa persembahan merupakan “makanan” Tuhan. Kenyataan ini tertuang dalam pendapat umum bahwa “Ida Bhatara nyari banten” yang maknanya secara umum bahwa Tuhan “memakan” inti sari dari banten. Jika kondisi ini dihadapkan pada keabsahan logika bahwa , Tuhan sebagai pencipta alam semesta tentu tidak akan “memakan” ciptaan-Nya. Lagi pula sebagai Sang Pencipta, sudah pasti Tuhan tidak perlu setangkai daun, setangkai bunga, sebiji buah, atau seteguk air untuk memuaskan “dahaga” Beliau. Namun yang terpenting dari semua itu adalah bhaktyaupahrtam asnãmi prayatãtmanah (persembahan bhakti bagi orang yang berhati suci).

Banten bukanlah satu-satunya bentuk simbolik dalam Agama Hindu, menurut Titib (2003:1), Agama Hindu sangat kaya dengan berbagai simbol, penampilannya sangat indah dan menarik hati setiap orang. Bagi umat Hindu simbol-simbol tersebut menggetarkan kalbu. Umat Hindu tidak seluruhnya mampu memahami makna di balik simbol-simbol tersebut. Tingkat pendidikan umat yang semakin maju menuntut pemahaman terhadap simbol-simbol lebih masuk akal sesuai konsep Weda.

Banten sebagai bentuk simbolik yang paling mendasar dalam segala aktivitas keagamaan memegang peran yang sangat penting dan strategis untuk dikaji. Surayin (2002;58) menyebutkan, “Bahwa bebanten adalah merupakan cetusan hati manusia/umat yang beragama Hindu, sebagai pernyataan rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atas karunia dan kehidupan yang diberikan-Nya”. Sebagai perwujudan bhakti maka banten yang mempunyai empat elemen dasar, daun, bunga, buah dan air, sebagaimana disebutkan dalam seloka Bhagawadgita, sudah pasti mempunyai makna simbolik yang sangat mendalam. Perlu kiranya kajian mendalam akan makna dan fungsi ke empat elemen dasar penyusun banten tersebut.

Atas dasar tersebut di atas, maka berikut ini akan dikaji secara singkat makna dan fungsi satu dari empat elemen dasar dimaksud, yaitu buah. Phenomena bahwa buah mempunyai beragam makna dan fungsi sesuai jenis dan bentuknya, namun demikian yang akan dikaji disini hanyalah persoalan secara umum, dan tidak menyangkut bentuk tertentu dari banten, yaitu : “Bagaimana makna dan fungsi buah dalam upacara yajna ?”. Kajian ini di dasarkan pada phenomena bahwa setiap bebanten sudah dapat dipastikan tidak akan lengkap tanpa buah. Oleh karena itu umat Hindu harus menyadari bahwa buah mempunyai makna dan fungsi simbolik yang religius.

B. Pembahasan : Makna dan Fungsi Buah dalam Upacara Yajña.

Buah, secara arti kata disebut sebagai, bagian tumbuhan yang berasal dari bunga atau putik, biasanya berbiji. (Poerwadarminta. 1999:152). Buah juga dapat diartikan sebagai, pendapatan; hasil; akibat, dan lain sebagainya tergantung konteks kalimat atau kata yang menyertainya. Secara umum, dalam konteks banten buah yang dimaksud adalah hasil produksi dari tumbuhan melalui proses pembuahan dari bunga. Atas dasar ini, buah dapat diartikan sebagai hasil produksi dari suatu proses fotosintesis tumbuhan dengan suatu phenomena atau kemujizatan alam. Jika buah merupakan “hasil” dari suatu karya agung tumbuh-tumbuhan, maka makna dan fungsi buah dapat dikaji dari proses ini.

Pada proses terjadinya buah secara fotosintesis, pada awalnya tanaman mendapatkan makanan dari dalam tanah (unsur bhutakala/Danawa), udara serta sinar matahari dari alam (unsur Dewa/Madawa), serta mendapat pemeliharaan dan perawatan dari manusia (unsur Manawa). Sebelum terjadinya buah, tiga unsur memegang peranan penting yaitu, bhutakala, Dewa, dan Manusia. Atas dasar ini sangat mudah dimengerti bahwa, buah sebagai produk tumbuh-tumbuhan dihasilkan karena “saham” dari Bhutakala, Dewa, dan Manusia, sehingga secara wajar ketiga penanam “saham” tersebut berhak atas hasil (buah) bersangkutan. Jadi persembahan buah dimaksudkan pengembalian “saham” atau “modal” kepada yang berhak. Sehingga, makna buah sebagai persembahan dalam suatu upacara yajña dapat diartikan pengembalian unsur alamiah kepada yang berhak sehingga keharmonisan dan keseimbangan alam tetap terjaga.

Buah, juga bermakna hasil, sehingga dalam konteks karma , buah dikatakan sebagai phala yang wajib dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sehingga manusia tidak terikat akan hasil kerja, dan menjadikan kerja sebagai persebahan, brahma karma samadhinah. Pada intinya, buah diartikan secara leksikal berdasarkan jenis buah yang dijadikan pondasi atau dasar persembahan, misalnya pisang atau biyu kayu dalam banten pejati diartikan biu kayu nga; hyuning citta maring hayu; biu ngaran hayu, kayu ngaran kayun, yang maksudnya sebagai lambang pikiran yang suci dan jernih. (Sri Arwati. 2002; 18).

Contoh lain, buah kelapa dalam daksina mempunyai makna sebagai lambang alam semesta yang sering dikenal sebagai bhuwana agung. Secara simbolis alam semesta beserta susunannya dapat dipahami melalui analogi buah kelapa. Pustaka lontar Aji Sangkya (dalam (Sri Arwati. 2002: 14). disebutkan bahwa buah kelapa dalam setiap persembahan atau bebanten mempunyai makna atau perlambang alam semesta dengan empat belas lapisan yang terbagi atas tujuh lapisan alam atas (sapta loka) dan tujuh lapisan alam bawah (sapta patala). Lambang sapta patala dalam buah kelapa terdiri dari ; 1) air kelapa sebagai lambang alam/wilayah mahatala, 2) bagian isi kelapa yang lembut lambang alam/wilayah tala-tala, 3) isi kelapa yang putih sebagai lambang alam/wilayah tala, 4) lapisan pada isi kelapa sebagai simbol alam antala, 5) lapisan isi bagian dalam yang keras merupakan perlambang wilayah sutala, 6) lapisan tipis paling dalam yang berwarna coklat merupakan lambang wilayah nitala, dan 7) batok kelapa merupakan lambang wilayah patala. Sementara lambang sapta loka pada buah kelapa disebutkan. 1) Bulu batok kelapa sebagai perlambang bhur loka, 2) serat saluran kelapa merupakan lambang bhwah loka, 3) serat serabut basah sebagai lambang swah loka, 4) serabut basah perlambang maha loka, 5) serabut kering merupakan simbolik jnana loka, 6) kulit serat kering perlambang tapa loka, dan 7) kulit serat kering bagian luar merupakan wilayah satya loka.

Secara harfiah makna dan fungsi buah dalam upacara yajña mengikuti jenis dan bentuk buah yang dipersembahkan. Buah mangga, dapat diartikan sebagai persembahan diri, karena arti kata ma-angga dalam bahasa Kawi maupun Sansekerta berarti diri sendiri.

Penggunaan buah dalam upacara yajña juga bermakna simbolik badan manusia yang mengandung benih kehidupan. Hal ini disimbolisasi bahwa pada umumnya buah mengandung biji dan biji buah merupakan benih kehidupan atau bakal tumbuhan. (Agung Mas. 1994 :17). Atas dasar ini buah juga diartikan sebagai bija atau benih kehidupan yang mempunyai pengertian sebagai brahmananda (telurnya Brahma). Karena benih kehidupan berasal dari Ida Sang Hyang Widhi maka persembahan buah sebagai benih kehidupan bermakna pengembalian benih tersebut kepada pemilik-Nya dalam upaya menjaga keseimbangan alam.

Pada intinya, buah sebagai persembahan mempunyai makna penyerahan diri yang tulus ikhlas kehadapan Sang Pencipta sebagai perwujudan rasa bhakti atas karunia-Nya. Buah mempunyai makna dan fungsi yang sakral karena berarti segala sesuatu akan kembali ke asalnya. Hal ini dapat diartikan dari suku kata pha dan lam . Pha berarti asal dan lam berarti kembali. Jadi persembahan buah atau phalam mempunyai makna bahwa sesungguhnya seluruh umat manusia pasti akan kembali kepada Sang Pencipta sebagai tempat asal dari mana seluruh makhluk bermula. Konsep ini merupakan implementasitasi dari falsafah mosartham jagadhita ya ca iti dharma yang berarti, bahwa kewajiban utama umat manusia adalah menjaga keseimbangan alam semesta secara duniawi maupun spiritual. Persembahan buah merupakan realita dari tujuan mulia di maksud.

Demikian secara singkat dapat dikupas, makna dan fungsi buah dalam upacara yajña. Semoga berarti.

C. Penutup

Buah dalam upacara agama Hindu mempunyai makna dan fungsi simbolik sebagai wujud persembahan rasa bhakti yang tulus kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Secara leksikal makna buah tergantung pada jenis buah yang dipersembahkan, dan hal ini erat kaitannya denga jenis banten yang dipersembahkan. Namun demikian secara umum buah bermakna persembahan bhakti yang pada hakikatnya merupakan perwujudan dan penyerahan diri manusia secara utuh kehadapan Tuhan sebagai asal mula segala yang ada. Persembahan buah berfungsi menjaga keseimbangan alam melalui pengembalian unsur-unsir kosmik yang membentuk buah melalui suatu proses alam semesta yang disebut fotosintesis.

D. Referens

Agus Mas Putra. 1994. Upakara Yadnya. Denpasar : Kayu Mas.

Poerwadarminta W.J.S. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Puja Gede. 1981. Bhagawadgita (Pancama Weda). Jakarta : Maya Sari.

Sri Arwati. 1999. Upacara Upakara. Denpasar : Upada Sastra.

…………... 2002. Banten Pejati. Denpasar : Upada Sastra.

Surayin Ida Ayu Putu. 2002. Melangkah ke Arah Persiapan Upakara Upacara Yajña. Surabaya : Paramita.

Tjok Rai Sudharta, dkk. 2001. Upadesa tentang Ajarang-Ajaran Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

Titib I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

Wiana Ketut. 1995. Yajña dan Bhakti dari Sudut Pandang Hindu. Denpasar : Manikgeni.

……………..2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan . Surabaya : Paramita.

…………... 2001. Makna Upacara Yajǹa Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

Wijayananda Mpu. 2003. Tetandingan lan Sorohan Bebanten. Surabaya : Paramita.

Rabu, 12 Agustus 2009

Dolanan Bali

KONSEP KARMA PHALA PADA DOLANAN “GOAK MALING TALUH”

Oleh : Rasta & Kadek Turya Adnyani

Manusia hendaknya menyelidiki dengan seksama prinsip yang berlaku dalam suatu hal atau peristiwa…Segala sesuatu dan diri diatur oleh prinsip yang sama. Jika engkau dapat memahami salah satunya, maka engkau akan dapat memahami yang lainnya, sebab kebenaran yang ada di dalam dan di luar itu adalah sama”, (Cheng Yishu, Abad ke-11).


Om Swastyastu,

Kenangan manis masa kecil tak terlupakan, manakala bermain bersama dengan nyanyian Goak Maling Taluh. Nyanyian anak-anak yang kini dikenal dengan istilah dolanan nyaris tidak terdengar lagi.

Syair goak maling taluh terdengar sederhana dengan irama atau ritme yang mudah, dan sang pengarang pun sampai saat ini masih anonim Dibalik kesederhanaan syairnya tersirat dan tersurat makna filsosofis yang mendalam tentang hakekat Karma Phala. Kata-kata Cheng Yishu, dalam konteks ini terbukti benar, bahwa ada kebenaran dalan sesuatu apabila kita menyelidiki dengan seksama.

Bagaimanakah syair dan makna lagu dolanan goak maling taluh ?

Mari disimak uraian berikut………………….!

Syair lagu dolanan goak maling taluh yang mengiringi permainan megala-galaan anak-anak Bali tempoe doloe masih terngiang seperti berikut.

Goak maling taluh gentang renteng kayu lengkong;

Nyen uli bedauh natad meng ngadut meong”

Kata goak berarti burung gagak yang berwarna hitam dengan bunyi goak-goak. Jadi pemberian nama goak sesuai suara dari burung dimaksud. Di Bali di kenal dua jenis goak, yaitu goak bunga yang bentuk dan ukuran tubuhnya kecil dengan suara yang kecil nyaring, dan goak bangke dengan suara besar galau dan menyeramkan. Burung goak adalah jenis burung yang tergolong carnipora, yaitu pemangsa binatang lain seperti ular, tikus, anak ayam, itik dan burung-burung kecil lainnya. Burung goak di Bali merupakan burung yang menjadi tetengger atau ciri-ciri hal-hal buruk akan terjadi pada suatu wilayah seperti terjangkitnya penyakit, kematian dan lain sebagainya.

Kata goak pada dolanan goak maling taluh mempunyai makna seseorang yang dalam hidupnya selalu berbuat tidak baik. Satu dari perbuatan burung goak tersebut dalam dolanan di atas dikatakan maling taluh yang secara bebas diartikan mencuri telur. Kata maling jelas merujuk pada suatu perbuatan hina yang dilarang dalam ajaran agama Hindu. Sementara kata taluh yang berarti telur dapat dimaknai sebagai benih kehidupan yang disebut brahmananda. Telur kehidupan inilah yang akan dicuri oleh burung gagak sesuai makna dolanan di atas. Perbuatan mencuri benih kehidupan dikatakan sebagai perbuatan hina yang dijelaskan dalam kata-kata simbolik getang renteng. Kata gedang yang berarti papaya, jika dipadukan dengan kata renteng berarti papaya yang hanya berbunga berantai-rantai dan tidak pernah menjadi buah. Gedang renteng di Bali diyakini sebagai tempat atau sarana ilmu hitam atau majik. Jadi kegiatan atau perbuatan mencuri merupakan kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu aturan agama atau orang-orang yang menjalankan ilmu hitam.

Penegasan bahwa perilaku menyimpang atau melanggar dharma sebagaimana diceritakan dalam dolanan goak maling taluh merupakan perbuatan yang menyesatkan. Perbuatan ini dianalogikakan seperti kayu lengkong yang secara bebas diterjemahkan sebagai kayu bengkok. Kayu dalam makna kias berarti kayun atau keinginan pikiran, sedangkan kata bengkok berarti tidak lurus atau tidak sesuai dengan kaidah - kaidah kebenaran. Dengan demikian kayu lengkong bermakna pikiran seseorang yang menyimpang dan tidak sesuai dengan petunjuk ajaran agama.

Secara satu kesatuan kalimat goak maling taluh gedang renteng kayu lengkong mengandung cerita atau analogi perbuatan seseorang yang tidak baik bagaikan burung gagak mencuri telur kehidupan sebagaimana perilaku para penekun ilmu hitam yang pikirannya bengkon dan tidak mungkin diluruskan. Namun demikian, pada bait kedua ditekankan bahwa apapun yang dilakukan seseorang di dunia ini harus dipertanggungjawabkan pada saat dia pulang ke alam sunya. Penekanan ini tersirat pada kalimat nyen uli bedauh natad meng ngadut meong. Secara bebas kalimat tersebut dapat diterjemahkan “ Siapa yang datang dari Barat membawa atau menarik (natad) kucing dan membunting (ngadut ) meong.

Datang dari Barat berarti pula berjalan menuju Timur. Arah Timur dalam konteks ajaran Hindu adalah arah suci sebagai tempat terbitnya matahari yang disebut pula sunya loka. Arah sunya loka merupakan simbolisasi arah yang dituju oleh ‘roh’ setelah kematian tiba. Jika seseorang berjalan menuju Timur pada posisi matahari masih di Timur maka ia akan diikuti oleh bayangannya. Bayangan dapat dianalogikakan sebagai hasil perbuatan. Dengan demikian seseorang yang datang dari Barat diartikan sebagai ‘roh’ yang berjalan menuju sunya loka setelah ajal tiba. Kedatangan seseorang ke sunya loka pada akhir hayatnya diikuti oleh hasil perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya. Jika dia berbuat tidak baik sebagaimana disimbolisasi dengan membawa kucing (natad dan ngadut meng atau meong) maka segala bentuk perbuatan tidak baiknya akan terus mengikuti perjalanan sang roh. Hal ini juga berarti bahwa seseorang pada akhirnya tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan karma phala.

Baik buruk perbuatan seseorang sebagaimana digambarkan pada lagu dolanan goak maling taluh pada akhirnya akan mengikuti perjalanan akhir ‘Sang Roh” menuju sunya loka atau alam ‘akhirat’. Gambaran tentang akibat dari perbuatan atau karma phala tersebut di sampaikan secara sederhana dalam lagu atau dolanan melalui suatu permainan megala-galaan. Jika kita kaitkan dengan permainan ini dan disimak dari arti kata gala yang berarti rintangan, maka permainan megala-galaan yang berarti memberikan rintangan kepada seseorang untuk mencari rumahnya. Permainan ini dengan lagu yang dinyanyikan jelas menyiratkan tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah menuju pulang ke rumah. Rumah abadi seluruh makhluk adalah Tuhan. Makhluk hidup berasal dari Tuhan dan pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan. Konsep ini dalam ajaran Hindu di sebut moksa. Dengan demikian, permainan megala-galaan dengan lagu dolanan goak maling taluh secara implisit mengajarkan dua bagian penting dari Panca Sradha yaitu Karma phala dan Moksa.

Permainan megala-galaan adalah suatu bentuk permainan beregu yang terdiri dari dua regu. Setiap regu terdiri dari tiga orang. Dengan opipa atau syut regu yang dinyatakan menang dapat memulai permainan menjadi gerup pencari rumah. Dalam perjalanan mencari rumah (biasanya ada tiga kotak yang dianggap rumah) dihalangi oleh regu lawan yang menjaga garis setiap wilayah rumah. Jika ada yang tersentuh tangan penjaga garis maka orang yang ada dalam kotak permainan (rumah) dinyatakan mati dan keluar dari arena. Apabila ke tiga orang dari regu tersebut dapat dijangkau tangan dari garis kotak oleh penjaga garis dari regu lain maka regu yang ada dalam kotak giliran menjadi penjaga garis dan regu yang tadinya menjaga garis memulai permainan. Apabila regu yang mencari rumah bisa melewati penjaga garis dengan mulus dan sampai pada rumah berikutnya maka akan mendapat nilai. Regu siapa yang mendapat nilai terbanyak sampai akhir permainan maka akan keluar sebagai pemenang. Hal yang menyenangkan bahwa dalam setiap sesi permainan selalu diikuti lagu atau dolanan goak maling taluh.

Dalam menyanyikan dolanan goak maling taluh biasanya dilakukan bergilir dari regu penjaga garis sampai regu yang ada dalam kotak permainan.

Permainan megala-galaan dengan nyanyian goak maling taluh merupakan iplementasi konsep pembelajaran menyenangkan, melajah sambil mapelalian, dan mapelalian sambil melajah, yaitu suatu konsep pendidikan tradisonal Bali yang menekankan aspek belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar.

Demikianlah makna filofosis lagu dolanan goak maling taluh dari sudut kajian filsafat pendidikan Hindu.

Om Santih, Santih, Santih Om.

Semoga bermakna…..!


Daftar Pustaka

Anadas Ra. 2004. Hukum Karma. Surabaya : Paramita.

Jayaram.. 2000. Memaknai Lagu Dolanan. Singaraja: Presspri.

Jendra Wayan. Karmaphala. Denpasar : Dewa Printing.